Matahari pagi bersinar hangat di atas desa Riverbrick, menyinari ladang-ladang subur yang terhampar luas. Deretan padi yang menguning meliuk-liuk mengikuti hembusan angin. Sungai yang berair jernih berkilauan mengalir di tengah-tengah desa menghidupi generasi demi generasi. Hasil panen dari desa Riverbrick sangat diminati oleh seluruh wilayah. Para pedagang sering bercanda bahwa padi di sini menunduk minta dipanen.
Di jantung desa ini aktivitas penduduk berlangsung riuh. Gerobak pedagang bergemuruh membawa peti-peti berisi berbagai barang dagangan, pakaian, dan furnitur. Kapal-kapal tongkang bertambat di pelabuhan, di mana arus sungai membawa barang-barang dagangan ke utara menuju ibukota kerajaan Brickvia dan sekitarnya.
Di sebuah bangunan kantor sederhana pelabuhan di pinggir, Rendo Karibata mengamati setiap aktivitas keluar-masuk barang.
"Manifest dari distrik Loma sudah tiba pagi ini," seru seorang petugas.
Ren, panggilan akrabnya, pemuda berumur sembilan belas tahun, masih cukup muda belia tapi instingnya lebih tajam daripada yang orang-orang kira, menerima laporan itu dengan anggukan. "Sudah ditimbang?"
"Sudah dua kali. Mereka kurang dua karung lagi."
"Tentu saja," gumam Ren, mencoret catatan di buku laporannya. "Beritahu petugas gudang Loma bahwa aku tahu dengan jelas kelakuan pedagang yang jujur."
Suaranya tidak terdengar marah, hanya sedikit lelah. Mejanya berantakan dengan peta jalur, catatan timbangan, dan tumpukan manifest menumpuk seperti gunung.
Di luar, terdengar lonceng berdentang satu kali—menandakan inspeksi telah selesai di gerbang selatan. Ibu Ren selalu bilang bahwa bunyi lonceng itu menandakan bahwa desa bisa bernapas lega karena sebentar lagi para pegawai pelabuhan akan selesai bekerja dan pulang ke rumah masing-masing.
"Ren! Pulang lebih awal hari ini, ya?" suara ibunya bergema samar dari depan pintu. Ia berdiri membawa sekeranjang belanjaan, rambutnya yang mulai memutih terikat di balut syal biru langit.
Ren menoleh dengan senyum tipis. "Jika inspeksi di dermaga barat bisa selesai lebih cepat melayani para rombongan pedagang itu, aku akan sampai rumah sebelum senja."
Ayahnya, mendekat dari belakang ibunya. "Atau kami akan datang menyeretmu pulang. Bahkan petugas kargo pun butuh istirahat."
Mereka tertawa. Ekspresi Ren melunak. Di desa ini, segalanya terasa harmonis. Urusan pekerjaan dan keluarga ada waktunya. Hidup para penduduk desa meski sederhana terasa penuh makna.
Ren kembali ke mejanya, membuka manifest berikutnya.
"Selisih berat. Dermaga penuh pedagang. Kargo datang kurang dua karung."
Ia mencorat-coret bukunya, tidak menyadari bahwa dalam hitungan jam, desa yang ia cintai akan terbakar dalam jeritan dan kobaran api.
Lalu momen yang tidak akan terlupakan seumur hidupnya pun tiba.
Berawal dengan suara gemuruh di tanah—sangat samar pada awalnya, bisa jadi disangka suara guntur dari pegunungan selatan. Ren sana sekali tidak berpaling dari bukunya.
Tetapi kemudian gemuruh kedua datang. Lebih keras. Lebih berat.
Sebuah jeritan memekik di udara.