Sore itu, matahari telah turun di bawah cakrawala dengan cahayanya melintasi kastil Brickvia. Di Lapangan depan istana ramai dengan derap langkah prajurit yang berpatroli, tetapi di salah satu sudut lapangan itu, terdapat sebuah dojo dengan kondisi yang lebih menenangkan
Kawasumi Mai, sang pemilik dojo, bergerak dengan anggun di tengah ruangan. Ia dikenal sebagai master pedang yang belum pernah kalah duel, sore itu memeragakan gerakan di depan murid-muridnya. Dengan pedang kayu di tangan, ia mengelak dari tusukan tombak, melangkah ke samping untuk menghindari tebasan pedang, lalu berputar ke balik punggung partner latihannya dalam satu rangkaian gerakan.
Di akhir gerakan, ia memukul dengan gagang pedangnya genggaman tangan partnernya yang memegang pedang dan tombak, melucutinya tanpa pertumpahan darah.
Ketika partner terakhirnya membungkuk hormat, Mai berbalik—dan melihat Ren.
“Kau pasti Ren Karibata,” katanya, berjalan mendekat dengan tenang dan anggun, “Letnan Jenderal Watari memberitahuku bahwa kau akan datang.”
Ren mengangguk, “Ya, Mai sensei. Aku di sini untuk belajar agar bisa tetap hidup di dalam pertempuran.”
Mata Mai terbelalak, “Itu suatu alasan yang bagus. Bertahan hidup sering kali diremehkan.”
Ia melangkah ke rak terdekat dan mengambil sebuah pedang besi.
"Kebanyakan mereka yang datang ke sini ingin bisa mengalahkan musuh lebih dulu sebelum mereka sendiri dikalahkan."
Mai menyerahkan pedang itu kepada Ren.
“Coba angkat!”
Ren menggenggam pedang itu.
“Sekarang ayunkan. Perlahan!” perintah Mai.
Ren melangkah dan mencoba mengayunkan pedang besi itu. Tubuhnya bergoyang tidak seimbang. Ia mencoba lagi, menyesuaikan pegangannya, tapi masih terasa terlalu berat.
Ia mendongak dan dengan tersipu malu ia berkata, “Ini berat. Aku tidak bisa bergerak dengan benar.”
Mai mengangguk,“Tidak apa-apa. Tidak semua orang dilahirkan untuk mengangkat pedang."
Ia mengambil kembali pedang besi itu dari tangan Ren.
“Aku akan tunjukkan sesuatu padamu.”
Mai melangkah ke tengah ruangan di mana terdapat boneka-boneka dummy seukuran orang dewasa—masing-masing meniru pose yang berbeda: pedang diangkat, tombak ke depan, kapak di atas kepala, mengangkat perisai, dan lainnya.
Mai menarik napas.
Lalu ia bergerak.
Ia berlari ke depan, mengelak ke kiri, lalu dilanjutkan dengan merunduk dan dilanjutkan menyapu kaki boneka dummy.
Dengan satu putaran badan, ia menghindari ayunan imajiner kapak yang diangkat, menyelinap di bawah celah perisai yang diangkat, dan memukul leher boneka dummy itu dengan gagang pedangnya.
Setiap gerakan berpindah ke gerakan berikutnya mengalir bagaikan sebuah tarian.
Mai Sensei bukan sedang bertarung, ia menari ....
Gumam Ren terpukau.
Mai berhenti dengan tenang, pedangnya diturunkan.
“Ini adalah Ashi Sabaki,” katanya,“Seni menghindari serangan yang datang bukan dari kekuatan, tapi dari langkah kakimu."
Ren tidak bisa mengalihkan pandangannya.
“Tanpa pedang. Tanpa baju besi” katanya saat ia berhenti di depannya, “Hanya tubuhmu. Itulah hal pertama yang membuatmu tetap hidup.”
“Aku … ingin mempelajari itu. Bagaimana bergerak seperti itu.” kata Ren takjub.
Senyum lembut muncul di wajah Mai, “Kalau begitu kita akan mulai besok. Datanglah dengan pakaian yang lebih ringan. Yang kita butuhkan hanyalah kakimu, napasmu, dan kemauanmu.”
Ren mengangguk, mengencangkan syal biru langit di lehernya, “Terima kasih.”
“Kau tidak akan berterima kasih padaku saat latihan keras ini,” kata Mai dengan ramah, “Tapi saat hasil latihan ini membuatmu tetap hidup, kau akan berterima kasih.”
Pada saat itu, Ren menyadari sesuatu: Mai tidak mengajarkan untuk membunuh. Ia mengajarkan untuk tidak mati. Dan untuk bisa lolos dari kematian dimulai dari langkah kaki.
Keesokan harinya, Ren tiba lebih awal. Ia berdiri menunggu di pelataran dojo.
Tidak beberapa lama, Mai melangkah masuk ke halaman dojo.
“Kau datang lebih awal,” kata Mai sambil tersenyum kecil.
“Aku...sudah tidak sabar untuk mulai belajar,” Ren mengakui.
“Itu bagus,”Mai melanjutkan, “Tubuhmu berarti mengatakan sudah siap. Mari kita mulai.”
Mai mengiringi Ren memasuki dojo.
“Hari ini, kau tidak butuh pedang. Hanya tubuhmu dan kesabaran.”
Ia kemudian maju ke tengah ruangan.
"Perhatikan!"
Mai menarik kaki kanannya ke belakang dan segera membentuk sebuah kuda-kuda. Kedua kakinya terbuka sejajar dengan bahunya.
“Ini,” ia memulai, “adalah kuda-kuda awalmu, posisi utamamu. Setiap gerakan dimulai dan diakhiri dengan posisi ini. Pusatkan kekuatan di kakimu tapi jangan sampai kaku. Bayangkan sebuah akar—kokoh, tapi fleksibel tertiup angin.”
Ren menirukan gerakan itu. Ia menarik kaki kanannya ke belakang dan kini membentuk sebuah kuda-kuda.
“Bagus,” katanya, “Sekarang, menggeser titik tumpu tubuh. Jadikan pinggulmu sebagai titik tumpu tubuh. Kemudian condongkan tubuh bagian atasmu perlahan ke depan… dan ke belakang… dari kiri… ke kanan.”
Ren mengangguk, mencoba fokus. Ia menggeser pinggulnya ke depan namun tersandung sekali, mencobanya sekali lagi dan kali ini berhasil walaupun membuatnya hampir jatuh.
“Bagus,” kata Mai dengan ramah, “Kau cepat belajar.”
Kini ia memperkenalkan teknik langkah samping—menggeser kaki yang menjadi titik tumpu kuda-kuda ke arah samping.
“Langkah samping bukan hanya sekedar melangkah ke samping, tapi menjadikan kakimu sebagai jangkar untuk menarik tubuh menjauhi jangkauan serangan.”
Dengan luwes, Mai menggeser kaki kirinya ke samping kiri dan langsung menarik seluruh badannya ke titik itu.
"Kau lihat, ikuti seperti yang kulakukan barusan. Luncurkan kaki kuda-kuda depanmu ke samping kiri atau kaki kuda-kuda belakangmu ke samping kanan. Kemudian langsung tarik seluruh tubuhmu ke arah titik itu."
Ren mengangguk dan langsung mencoba gerakan itu.
Kaki kanannya yang menjadi posisi belakang kuda-kuda, ia lebarkan ke samping kanan kemudian ia langsung menarik seluruh tubuhnya ke titik di mana telapak kaki kanannya berpijak.
Ren meluncur ke kanan dalam sekejap.
Teknik ini ... aku bisa menghindari serangan tanpa perlu menangkis ....
Ren berbisik di dalam hatinya, menyadari teknik ini bisa dikuasai bahkan tanpa memegang senjata.
“Bagus,” kata Mai, “Kau sudah menguasai dasarnya. Sekarang aku akan memeragakan Pivot.”
Mai membentuk kuda-kuda dengan memajukan kaki kanannya.
“Pivot adalah gerakan memutar balik tubuh dengan menjadikan kakimu sebagai titik tumpu untuk berbalik arah" ucap Mai.
"Lihat ini!"kata Mai sebelum ia mulai bergerak.
Mai mengangkat kaki kirinya yang berada di posisi belakang kuda-kuda. Sementara kaki kanannya tetap diam dan menjadi poros, ia memutar tubuhnya 180 derajat ke arah sebaliknya. Kaki kirinya mengikuti dan ia letakkan kembali di posisi belakang kuda-kuda.
"Sekarang, coba kau lakukan!" perintah Mai.
Ren mengikuti gerakan itu, berputar dengan dengan perlahan, canggung, dan kaku.
“Kau di sini bukan untuk menjadi cepat, Ren,” Mai mengingatkan, “Kau di sini untuk menjadi siap.”
"Baik, Mai sensei!" jawab Ren terengah-engah, keringat mengalir di wajahnya.
Berjam-jam berlalu. Mai mengajarkan Ren dasar-dasar Ashi Sabaki dengan sabar.
“Kau sudah melakukannya dengan baik,” kata Mai di sesi akhir latihan, “Kebetulan besok adalah akhir pekan, kita bisa mulai dari pagi. Kau akan belajar mengganti arah kuda-kuda. Hari ini, biarkan ototmu mengingat.”
Ren mencoba mengatur napas, syal di lehernya basah oleh keringat.
“Terima kasih,” ucap Ren dengan napas yang masih terdengar cepat.
“Aku mengajarimu bukan untuk membunuh,” kata Mai pelan, “Tapi untuk tetap hidup bahkan tanpa harus membunuh. Itu… adalah inti dari bertahan hidup.”
Ren mengangguk setuju.
Keesokan harinya, Ren sudah kembali ke dojo tempat Mai mengajar sesaat setelah matahari terbit. Kakinya masih sakit dari sesi kemarin, tapi rasa sakit itu tidak menghalanginya untuk terus belajar.
Mai membuka pintu utama dojo dan melangkah keluar, napasnya berasap dalam dinginnya pagi.
“Kau kembali,” katanya.
“Ya, aku kembali untuk belajar,” jawab Ren, sambil membetulkan posisi syal biru langit di lehernya.
“Bagus,” kata Mai, senyum tipis mengembang di wajahnya, "Hari ini kita belajar bagaimana bergerak mengalir di antara serangan yang datang melalui teknik mengubah arah kuda-kuda.”