Jauh dari tembok-tembok kokoh ibu kota Brickvia, jauh di dalam hutan, sebuah kastil tua yang sudah ditinggalkan kini kembali menerima tamunya. Di sini, para pemuda rekrutan baru prajurit Brickvia akan dibekali bukan hanya dengan dasar-dasar mengangkat senjata, tetapi juga dengan kemampuan untuk bertahan hidup. Di sinilah Brickvia akan melihat apakah generasi penerusnya bisa diserahi tanggung jawab untuk melindungi tanah mereka.
Kastil tua itu berdiri menjulang di tengah hutan. Dulunya adalah tempat peristirahatan para bangsawan, kini menjadi tempat pelatihan paling terpencil di wilayah Brickvia meskipun di beberapa bagian sudah hancur dan rusak.
Para rekrutan baru berbaris di halaman, napas mereka beruap di udara pagi yang dingin. Di antara mereka, Ren tetap siaga mengamati sekitar.
Tiba-tiba keheningan pecah oleh suara perwira yang berteriak dengan lantang.
“Perhatian!”
Gerbang kayu terbuka. Seorang pria berusia akhir 30-an melangkah maju—Letnan Jenderal Harada Kurosuke. Tatapannya tajam. Gestur serius terpancar dari setiap langkahnya.
“Aku di sini bukan untuk mengasuh kalian,” katanya tanpa basa-basi, “Kalian bukan prajurit sampai kalian bisa berpikir dan bergerak sebagai satu kesatuan. Dan saat ini, kalian hanyalah seonggok daging yang dipakaikan seragam.”
Ia memberi isyarat kepada para ajudannya, yang kemudian membuka peti-peti kayu berisi senjata kayu—pedang pendek, tombak, tongkat, dan perisai bundar.
“Kita mulai dengan yang paling dasar, penguasaan senjata. Posisi genggaman, serangan, dan tangkisan!”
Kurosuke mengambil pedang pendek dan mendemonstrasikannya—gerakannya terlatih. Tebas, tarik, tangkis, kembali ke posisi semula.
“Jika tanganmu terlalu longgar, pedangmu akan terlepas. Tapi terlalu kencang, lenganmu terkunci. Yang terpenting adalah fleksibel!” ujarnya.
Para rekrutan berdiri berpasangan-pasangan. Mereka memulai latihan seperti yang diperintahkan—menyerang, menangkis, memulihkan posisi.
Ren berhadapan dengan seorang pemuda yang bertubuh lebih besar darinya. Awalnya ia canggung, tangannya kaku memegang pedang kayu, setiap gerakan terasa terlambat setengah detik. Pukulan lawan membuat lengannya bergetar, hampir terlepas pegangan.
Ia menarik napas dalam.
Jangan hanya bertahan ... ikuti arusnya, lalu kembalikan serangannya.
Ujarnya dalam hati berusaha menenangkan diri agar tubuhnya tidak gemetar di depan yang lain.
Setelah dua jam, Kurosuke bertepuk tangan sekali lagi, “Kumpul!”
Para ajudan membentangkan peta besar di atas meja.
“Sekarang,” kata Kurosuke, “Aku akan mengajarkan kalian tentang formasi pasukan. Ini adalah alat yang kalian gunakan untuk menghadapi lawan sebagai satu kesatuan.”
Ia memaparkan beberapa bentuk formasi pasukan yang biasa dipakai di medan tempur seperti Pincer, formasi yang menjepit pasukan lawan dari sisi depan dan belakang mereka. Flank, formasi yang menargetkan sisi samping kiri dan kanan barisan lawan. Encirclement, formasi pengepungan dari seluruh sisi. Cresent, formasi yang membentuk pola bulan sabit, digunakan untuk memancing musuh untuk mengejar untuk kemudian langsung dikepung seperti formasi encirclement, serta formasi-formasi lainnya.
Salah seorang rekrutan bertanya, “Bagaimana jika medan di lapangan menghalangi formasi?”
“Kalau begitu kalian harus melibatkan medannya sebagai bagian dari formasi!” jawab Kurosuke, “Gunakan tembok, sungai, titik sempit, bahkan bayangan. Kastil yang hancur ini bukan hanya sekedar tempat—ini adalah guru kalian!”
Kurosuke melangkah mundur dan berteriak, “Bentuk regu! Regu Satu, kalian akan membentuk formasi encirclement! Regu Dua, Pincer! Regu Tiga, Cresent! Kalian punya sepuluh menit untuk merencanakan sebelum latihan dimulai!”
Ren ditempatkan di Regu Dua, ditugaskan untuk melakukan formasi pincer. Ia mengamati medan di sekitarnya—pintu-pintu kayu, benteng yang runtuh, tangga-tangga sempit.
Kondisi ini ... cocok untuk memasang jebakan dan menyerang dari titik buta ....
Pikirnya.
Kurosuke berdiri di atas balkon sambil melipat tangan di depan dada. Di sampingnya, Ajudannya berbisik, “Lihat anak itu, Ren. Gerakannya seolah-olah ia sudah melakukannya bertahun-tahun.”
Mata Kurosuke mengamati pergerakan Ren, “Tidak ... ia bergerak seolah sudah melihat apa yang akan terjadi di medan perang sebelum itu terjadi. Awasi dia!”
Berjam-jam berlalu dan pada sore harinya halaman kastil dipenuhi para rekrutan yang kelelahan.
Letnan Jenderal Harada Kurosuke berjalan pelan ke tengah-tengah mereka.
“Kalian telah paham bagaimana membentuk formasi. Tapi perang bukan sekedar menyerbu dan mengayunkan pedang,” Kurosuke kembali berbicara,“Namun juga koordinasi, kerja sama, dan membaca situasi!”
Ia memberi isyarat kepada dua perwira junior. Mereka segera mengeluarkan bendera berwarna merah dan biru.
“Sekarang, kita uji kemampuan kalian untuk membuat rencana dan bergerak sebagai satuan unit. Kalian akan dibagi menjadi empat regu. Dua akan mempertahankan menara benteng. Dua akan menyerangnya.”
Para rekrutan segera bangkit berdiri dan membuat regu.
Kurosuke menghampiri regu bertahan.
“Tugas kalian, menjaga bendera di sisi kalian, menempatkan pengintai, dan mengidentifikasi titik lemah. Gunakan medan!” seru Kurosuke.
Kemudian ia berseru kepada tim penyerang yang berada di seberangnya, “Tugas kalian, melucuti bendera di puncak menara dan melarikan diri kembali ke pangkalan. Jika salah satu dari kalian tertangkap, misi gagal. Kalian punya sepuluh menit untuk merencanakan, dan dua puluh menit untuk melaksanakan.”
Masing-masing regu segera berkumpul.
Ren tergabung di regu penyerang. Pemimpin regu, seorang pemuda yang bernama Hayashi, mengambil alih komando dengan cepat.
“Tim depan akan mengalihkan perhatian di pintu masuk utama. Kita akan mengirim tiga orang di sisi selatan kastil, di mana ada jalur drainase yang mengarah ke dalam kastil. Jika kita mengatur waktunya dengan tepat, mereka bahkan tidak akan tahu kita sudah di dalam,” serunya.