Letnan Kolonel Takashi Moriyama berdiri diam di atas perbukitan selatan yang menghadap kastil tua. Di belakangnya, para prajuritnya berdiri dalam diam.
Seorang ajudan berjalan menghampirinya.
"Letnan Kolonel! Izin mobilisasi pasukan sudah dikeluarkan oleh Jenderal Arakawa!" serunya.
“Bagus, kita bergerak cepat, tanpa menunggu lagi!” sahut Moriyama.
Ia berpaling kepada para letnannya, “Tim pertama, tutup jalur hutan! Kita tutup jalur bala bantuan bagi mereka!”
“Tim kedua!" lanjutnya,"amankan bukit. Dari sana, pemanah akan menghujani mereka!”
“Tim ketiga, kepung kastil dan tutup semua jalan keluar!” ia meneriakkan perintah.
"Siap!"jawab para letnan kompak.
“Begitu kita menyerang, jalur komunikasi harus dihancurkan. Tidak boleh ada pesan yang bisa keluar dari sana!”lanjutnya.
Tangannya mengepal,“Kita hancurkan mereka ... sebelum mereka tahu kita ada di sini!”
Tidak lama, lengkingan suara peluit berbunyi. Masing-masing tim segera bergerak ke tujuannya.
Moriyama mengamati cahaya api unggun yang jauh di dalam tembok kastil yang dipenuhi tawa, tak ada satu pun yang tahu apa yang akan datang sesaat lagi kepada mereka.
Moriyama berbisik pada dirinya sendiri, “Prajurit baru Brickvia ... aku akan ajarkan kalian apa itu rasa takut!”
Cahaya bulan bersinar menembus kabut di atas kastil tua, cukup untuk menerangi para prajurit Suragato menyelinap melalui semak-semak pepohonan.
Dari segala arah, pasukan Suragato telah siap di posisi pengepungan.
Suara desingan terdengar sebelum kemudian sebuah anak panah menancap di halaman kastil.
Insting Letnan Jenderal Harada Kurosuke mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia bergegas melangkah ke balkon.
Mata tajam Kurosuke melihat ke arah hutan sebelum menyadari sesuatu.
“Penyergapan!” suaranya mendadak penuh urgensi.
“Mereka di sini untuk menyerang titik terlemah Brickvia. Tempat pelatihan ini ... mereka mengincar unit yang belum berpengalaman!”
Di halaman, para rekrutan segera menyadari adanya serangan yang datang dari luar. Dengan cepat, mereka bergegas menyiapkan senjata. Wajah pucat menghiasi masing-masing dari mereka.
Kastil tua itu kini bukan lagi tempat pelatihan, tapi medan perang.
Pikiran Kurosuke berpacu saat ia meneriakkan perintah.
“Kita bertarung dengan apa yang kita miliki di sini, gunakan kastil ini sebagai perisai kita!” perintahnya.
“Sembunyi di reruntuhan, pasang jebakan. lakukan hit and run, gunakan medan untuk keunggulan kita. Setiap sudut, setiap bayangan adalah senjata kita!" lanjutnya.
Para prajurit bergegas menumpuk puing, memblokir lorong-lorong sempit, dan menyiapkan titik sempit di mana musuh akan dipaksa untuk berhenti.
Kurosuke berbicara kepada para rekrutan di dekatnya,“Tetap bersama. Saling menutupi. Gunakan semua yang telah kalian pelajari—formasi, pertahanan, dan kesabaran. Kita akan bertahan sampai bantuan datang!”
Di luar, suara langkah kaki musuh semakin dekat.
“Kita akan buat mereka menyesal meremehkan kita!” ujarnya sambil menatap tajam ke arah gerbang.
Desingan anak panah dan dentingan pedang bergema melalui reruntuhan di luar kastil saat pasukan Suragato bergerak maju.
Ren bergerak maju bersama para rekrutan, kompak menjaga barisan tetap utuh. Ketika sekelompok prajurit musuh menerobos masuk, Ren berdiri bahu-membahu dengan beberapa rekrutan menahan musuh.
“Tahan posisi!” seru Ren dengan lantang.
"Hyaaah!"seorang prajurit Suragato mengayunkan pedang ke arahnya.
"Ughh!" Ren segera menangkis dengan belatinya, ia terdorong beberapa langkah ke belakang.
Di dekatnya, tim lain dengan senyap melesat dari sisi samping yang tersembunyi dan langsung menyerang prajurit Suragato itu.
"Aghh ... sial anak-anak ini!"ujar si prajurit sambil berlari mundur.
"Terima kasih!" ucap Ren.
"Ayo! Mereka masih terus berdatangan!"ujar rekrutan di sebelahnya.
Ketika ia berbalik, Ren melihat seorang rekrutan yang lebih muda berjuang untuk melepaskan anak panahnya. Dengan tubuhnya, Ren menutupi rekrutan itu saat ia menarik busur.
"Lakukan!"sahut Ren.
"Ya!"ujar rekrutan itu melepaskan anak panah.
"Ughh ...."
Satu prajurit Suragato terjatuh tertembus anak panah, tapi langkah maju mereka tidak terhenti.
Ren dan para rekrutan berkumpul di lapangan di tengah kastil bersama Kurosuke. Ekspresi wajah Kurosuke terlihat tegang. Ia tahu waktu yang mereka punya tidak banyak.
“Komunikasi terputus. Tidak ada yang tahu saat ini kita dikepung,” katanya,“Kita harus mengirim sinyal SOS, sinyal yang tidak akan mungkin disalahartikan!” ujarnya.
Ia menunjuk ke arah balkon menara kastil di mana kemungkinan besar roket suar darurat berada.
“Sinyal darurat harus jelas: tiga ledakan pendek beruntun, tiga ledakan interval panjang, tiga ledakan pendek beruntun. Sinyal SOS. Dan itu harus ditembakkan dua kali. Sekali tembakan mungkin disalahartikan sebagai latihan. Dua kali berarti kita memang dalam bahaya!" seru Kurosuke.
Tanpa ragu, Ren melangkah maju, “Aku akan meluncurkan suarnya!"
Kurosuke mengangguk, “Itu tugas yang berbahaya. Kau harus bergerak cepat dan tetap tersembunyi. Tidak ada kesempatan bagimu menghadapi mereka sendirian!”
“Aku mengerti, Jenderal!” jawab Ren.
Dengan itu, nasib seluruh prajurit Brickvia yang ada di kastil tua, kini berada di pundak Ren.
Ren bergegas masuk ke dalam koridor-koridor reruntuhan yang berliku.
Detak jantungnya berdebar saat ia menyelinap melewati patroli musuh dan menghindari anak panah yang melesat di atas kepalanya.
Di belakangnya, suara pertempuran samar-samar meredup.
Tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki yang tergesa-gesa bergema di dekatnya. Ren diam membeku, merapatkan tubuhnya pada pilar yang runtuh.
Dua prajurit Suragato muncul dengan senjata terhunus. Tatapan mereka mengamati reruntuhan dengan seksama, mencari tanda pergerakan sekecil apa pun.
Untuk lolos dari mereka ... sepertinya aku harus menggunakan Ashi Sabaki yang diajarkan oleh Mai sensei ....