Langit yang menggantung di atas istana Brickvia masih gelap setelah hujan mengguyur semalaman, tapi Ren seperti tak peduli. Ia berdiri sendirian di ujung halaman istana, bajunya basah, matanya menerawang jauh. Raungan pertempuran masih berdering di kepalanya—serangan mendadak di tempat pelatihan yang nyaris merenggut nyawanya dan rekan-rekannya.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat.
“Kau selamat,” kata Kawasumi Mai yang berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya.
“Ya, Aku beruntung,” gumam Ren.
Mai melangkah lebih dekat, “Tidak banyak orang bisa kembali setelah serangan mendadak seperti itu. Kau tidak hanya selamat, Kau beradaptasi.”
Ren memaksakan diri untuk tersenyum, “Berdaptasi bukan berarti Aku sudah siap.”
Mai menggelengkan kepalanya perlahan, “Kau salah. Kau sekarang lebih siap daripada siapa pun.”
Hening menyelimuti mereka, dipenuhi ucapan yang tertahan.
Kemudian Mai melanjutkan, “Kau mengingatkanku pada seseorang yang dulu kukenal.”
Ren meliriknya, penasaran.
“Aku pernah bertugas di garis depan,” lanjutnya, “Di divisi Letnan Jenderal Futaba Watari. Situasinya sama sepertimu ... darah, pedang, dan jeritan prajurit.”
Mata Ren melebar, “Mai-sensei bertempur di perang sebelumnya?”
Mai mengangguk, “Di sanalah aku bertemu dengannya. Nakazawa. Ia berada di Divisi Kavaleri Jenderal Hiryuu. Ia selalu mengenakan baju zirah besi, seolah-olah membuatnya tak terkalahkan. Ia selalu bilang dengan bangga, tidak ada satupun yang bisa menjatuhkan seorang Ksatria,” suaranya tercekat sejenak.
“Kami jatuh cinta. Menikah. Aku mengundurkan diri. Menjalani hidup jauh dari garis depan,” lanjut Mai yang tanpa sadar jari-jarinya menggenggam ujung bajunya, “Sampai ia tidak kembali dari Pertempuran di perbatasan selatan.”
Ren menahan napas.
“Aku turut berduka,” kata Ren pelan.
Mai menarik napas dalam-dalam, “Sekarang aku mengajar. Ilmu pedang, Ashi Sabaki, kedisiplinan. Setiap kali aku melatih seseorang, aku teringat dengannya, mendiang suamiku. Jadi aku mengajar bukan hanya untuk bertarung. Aku mengajar untuk tetap hidup.”
Ren akhirnya bicara, “Aku ... juga menyadari sesuatu."
Mai mengangkat alisnya.
“Mai-sensei,” kata Ren,“Aku pikir ... Aku harus belajar cara mengakhiri pertarungan dengan cepat, tanpa mengandalkan senjata atau kekuatan.”
Mai mengangguk perlahan, “Maksudmu pertarungan tanpa senjata?”
Ren menatapnya, “Lebih dari itu. Aku dengar ada sebuah teknik yang disebut Kyusho Jitsu, seni menyerang titik-titik vital untuk melumpuhkan lawan. Jika Aku mempelajarinya, Aku bisa mengalahkan musuh tanpa memegang senjata sama sekali.”
Mata Mai berbinar, “Ada seorang master di Brickvia, yang bernama Sensei Ichigo. Ia salah satu yang terbaik dalam Kyusho Jitsu. Jika Kau serius, aku bisa membawamu kepadanya.”
"Terima kasih, Mai-sensei!" jawab Ren penuh tekad.
Jantung Ren berdebar. Ini lebih dari sekadar latihan. Ini adalah kesempatan untuk bertarung dengan caranya sendiri.