SILENT SPARKLE

Fahlevi Arnaiz
Chapter #1

PROLOG

PROLOG

 

 

 

 

 

Sukabumi, 1994

 

Cemas Tuti memikirkan penyakit apa yang sedang ia alami. Muncul ruam-ruam merah di sekujur tubuhnya dan ia mulai merasakan sakit kepala. Bos toko Material tempatnya bekerja yang juga adalah pamannya membolehkan Tuti untuk pulang lebih awal agar ia dapat beristirahat. Namun Tuti menolaknya dengan sopan.

“Tanggung Ua, sebentar lagi kerjaan saya beres.” ucapnya sambil membenarkan posisi jilbabnya. Lalu tiba-tiba perhatian sang Bos teralihkan oleh karyawan lain yang tak sengaja menumpahkan cat dari rak toko. Sang Bos marah dan mengucapkan sumpah serapah dalam bahasa Sunda. Suara sang Bos terdengar seperti geledek yang bergema di kepala Tuti. Wanita itu pun memijat-mijat keningnya. Sakit kepalanya semakin menjadi.

Tuti hanya ingin menyelesaikan pekerjaan sampai waktu pulang karyawan tiba. Ia tak ingin karyawan lain berpikir dirinya diperlakukan istimewa karena ia adalah keponakan sang Bos. Hanya tinggal satu jam lagi. Sambil bertulis-tulis nota pembelian di atas meja kerjanya, Tuti menahan rasa sakit kepala dan hawa panas yang mulai menjalar di tubuhnya. Nafas Tuti semakin memburu. Beradu dengan suara bising pekerja yang sedang memotong kayu. Di depan Bos dan karyawan lain Tuti ingin memperlihatkan tekadnya sebagai pekerja keras, ia tak ingin kehilangan pekerjaan yang baru ditekuninya beberapa bulan terakhir ini.

Jam lima sore, para karyawan berangsur-angsur membereskan peralatan kerjanya, hendak meninggalkan toko. Lekas Tuti pamit kepada Bos, lalu mengambil tas jinjingnya dan melangkah cepat menuju parkiran untuk menunggu jemputan sang suami seperti biasa. Nafasnya terasa semakin panas dan ruam-ruam merah di punggung tangannya terlihat kontras dengan kulitnya yang putih. Kepalanya semakin pening. Ditambah tenggorokannya jadi sakit. Tuti yakin ini bukan sakit biasa. Ditengah kecemasannya, dari ujung jalan raya muncul sosok Aep sang suami dengan motor bebek merah kesayangannya. Setelah mendekat dan menepi ia langsung membuka helm karena melihat wajah sang isteri yang pucat lemas.

Neng kenapa?!”

Kang, kayaknya aku demam. Kita ke dokter dulu ya?”

Aep menyentuh kening Tuti. Panas.

Neng kuat gak naik motor?”

Tuti mengangguk dan naik ke jok motor, pasangan muda itu pun melesat pergi menuju rumah sakit terdekat. Sampai di rumah sakit, dokter berkata bahwa Tuti harus dirawat dan esoknya ia harus melakukan tes darah. Suster memasangkan infus di pergelangan tangan Tuti. Aep pulang ke rumah untuk memberitahu keluarga sekalian mengambil tikar dan selimut karena ia akan menemani Tuti semalaman di rumah sakit.

Malam itu, Aep tiduran di atas tikar. Ia membalikkan badannya kesana-kemari karena tak terbiasa tidur di atas lantai. Tuti merasa kasihan. Ia ingin membagi kasurnya dengan Aep, namun khawatir penyakitnya yang belum diketahui itu dapat menular. Memang setelah mendapatkan perawatan rumah sakit kondisi tubuhnya semakin membaik. Namun ruam-ruam merah di sekujur tubuhnya tak juga hilang. Ruam-ruam itu mengingatkan Tuti kepada sakit cacar yang pernah ia alami saat kecil, namun Tuti merasa penyakit ini agak berbeda.

“Maaf ya Kang, jadi ngerepotin.” Ucap tuti, memecah kesunyian malam di kamar rumah sakit.

“Sudah kewajiban Akang sebagai suami, jagain Eneng.” Ucap Aep tanpa membalikkan punggungnya. Tuti melamun sejenak.

“Ko’ bisa mendadak sakit gini ya. Padahal kemarin sehat-sehat aja.”

“Namanya takdir Allah, gak ada yang bisa tebak.”

“Tapi kalo mau sakit kan’ biasanya ada tanda-tandanya dulu. Gak enak badan atau apa gitu.”

“Gak dirasa mungkin. Eneng kan’ sibuk kerja di toko haji Pipin.”

Tuti pikir perkataan Aep ada benarnya. Setelah mendapatkan pekerjaan di toko material, Tuti selalu memaksakan diri untuk pergi bekerja meski sedang tak enak badan. Mungkin terlalu keras bekerja membuat imun tubuhnya lemah sehingga ia mudah terserang berbagai penyakit. Meski begitu Tuti senang dapat bekerja dan mendapatkan uang sendiri. Dengan demikian ia dapat menyisihkan sebagian uangnya untuk sang ibu tanpa harus meminta-minta kepada suami.

Aep menyadari diamnya Tuti, “Kamu tidur?”

Rupanya Tuti sedang memikirkan sesuatu, “Bulan ini ada yang aneh sih, Kang.”

Aep menoleh, “aneh?”

“Aku belum dapet.”

 

***

 

Esok hari. Kurang dari dua jam hasilnya sudah keluar. Seorang dokter yang memeriksa Tuti datang ke ruangan pasien. Tuti dan Aep sudah menunggu kedatangannya.

“Jadi saya kenapa, Dok?” tanya Tuti dengan wajah lemas. Dokter tak langsung menjawab. Ia melihat kembali catatan pasien untuk meyakinkan dirinya.

“Anda terpapar virus Rubella.”

“Ru…bella?” Aep baru mendengar nama virus itu. “Apakah itu berbahaya?”

Lihat selengkapnya