SILENT SPARKLE

Fahlevi Arnaiz
Chapter #2

CHAPTER 1

CHAPTER 1

 

 

 

Sukabumi, 2005

 

Bagi dirinya, dunia ini adalah sebuah pertunjukan pantomim yang luar biasa. Semua gerakan sekecil apapun memiliki arti dan tujuan. Termasuk setetes air embun di atas daun talas yang sedang ia amati di persimpangan jalan. Saat butiran air seperti kristal itu menggelinding di permukaan daun, ia menangkap partikel debu, kotoran dan mikroorganisme yang ada di permukaan daun. Dengan demikian, daun talas secara alami dapat membersihkan dirinya sendiri. Anak lelaki itu selalu takjub dengan bagaimana cara dunia ini bekerja. Bukan hanya indah, namun memiliki tujuan tertentu. Ia pun yakin segala sesuatu yang terjadi memiliki tujuannya sendiri, termasuk kondisi yang ia alami sejak lahir hingga saat ini.   

Kini Farhan berusia sepuluh tahun. Ia memiliki postur tubuh yang kecil jika dibandingkan dengan anak seusianya. Meski terlahir Tuli, Farhan tumbuh menjadi anak periang dan tak minder untuk bergaul dengan siapapun. Bagi Farhan semua manusia memiliki derajat yang sama. Meski banyak orang lain sadar atau tidak tak sependapat dengannya terutama ketika mereka melihat orang dengan disabilitas. Farhan ingin merubah pandangan itu. Keinginan ini sudah muncul sejak ia memahami dunia luar dan melihat sikap tak adil dunia kepada dirinya.

Pagi berkabut tipis. Farhan bersepeda menuju Sekolah Luar Biasa yang tak jauh dari rumah, berkelok-kelok ia menyusuri jalanan sempit gang dengan penuh semangat. Farhan senang bersepeda pagi hari. Udaranya masih segar dan jalanan pun lenggang. Para petugas kebersihan jalanan yang sudah bekerja dari pagi buta melihat Farhan dan tersenyum. Mereka semua tahu siapa Farhan.

Sampai di sekolah, Farhan memarkirkan sepedanya di halaman kelas. Di sini ia dapat belajar bersama teman-teman yang sama seperti dirinya. Tak ada perundungan di Sekolah Luar Biasa. Semua murid dapat belajar dengan nyaman. Namun ada satu hal yang membuat Farhan tak nyaman. Semua guru di sana berkomunikasi menggunakan gerakan bibir. Metode itu cukup sulit untuk Farhan dan beberapa temannya yang lain. Termasuk tiga teman kelas Farhan, Soleh, Aldi dan Suci.

Soleh memiliki tubuh besar, sedangkan Aldi jangkung berkacamata. Mereka berdua memiliki sifat cenderung pendiam. Sedangkan Suci lebih terbuka dan mudah bergaul dengan siapapun termasuk orang dengar. Sama seperti Farhan, ia tak merasa minder sama sekali. Gadis yang memiliki rambut panjang dan mata berbinar itu mudah melemparkan senyum kepada orang lain. Ia pun selalu berusaha ikut dengan pembicaraan orang dengar meski hanya membaca gerak bibir dan mimik wajah mereka. Sifat positif dan mudah bergaul itu yang mendekatkan Suci dan Farhan. Mereka memiliki satu aura dan satu energi yang sama.

Bagi tiga temannya, Farhan adalah seorang teman kelas yang baik. Farhan sering mengajak mereka dan teman Tuli lainnya untuk mengobrol menggunakan bahasa isyarat. Farhan tak segan berteman dengan siapapun termasuk orang dengar.

Suatu pagi Farhan membeli lotek sayur di depan rumah Ceu Nining. Ia selalu menyapa warga yang ia temui di jalan. Farhan akan mengangkat sebelah tangannya, semua orang tahu itu adalah bentuk sapaan.

“Farhan, mau ke mana!” ucap seorang bocah lelaki yang sedang bersepeda dengan seorang temannya. Lantas ditepuknya pundah si bocah oleh temannya.

“Maneh teh kumaha! Dia kan’ gak bisa denger!”

Si Bocah terkekeh. Ia hanya ingin basa-basi namun tak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan orang tuli seperti Farhan. Biasanya Farhan akan membalas gerakan mulut orang-orang dengar itu dengan anggukan dan tawa, meski ia pun tak tahu apa yang sesungguhnya mereka katakan. Dunia akan jauh lebih mudah jika orang-orang memahami bahasa isyarat, namun jangankan isyarat, belajar tata bahasa Indonesia yang baik dan benar di sekolah pun orang-orang masih banyak malasnya.

Di depan rumah bermodalkan sebuah meja dan cobek batu, Ceu Nining membuka usaha lotek kecil-kecilan. Lalu datanglah Farhan. Ia membuat simbol angka dua dengan jarinya, maksudnya adalah ia ingin membeli dua porsi lotek. Ceu Nining langsung mengerutkan alis. Tangannya tak henti mengulek bumbu kacang di atas cobek hingga halus.

“Apa Farhan? Beli dua? Loteknya beli dua?”

“Gak akan ngertieun atuh Ceu!” celetuk seorang pembeli yang baru mengantri. Farhan tak akan mengerti apa yang Ceu Nining katakan meskipun ia bertanya dengan gerakan bibir yang diperjelas.

“Suka bingung saya teh kalo Farhan beli. Takut salah.”

Lalu Farhan menggunakan bahasa isyarat ‘tak pedas’. Namun Ceu Nining tak memahaminya sampai ia memasukkan sebuah cabe hijau kecil ke dalam cobek dan tiba-tiba Farhan mencegahnya dengan menyilangkan kedua tangan. Ceu Nining menghela nafas.

“Gak pake cengek ya? Hadeuh… tuh kan’… buat siapa loteknya? Buat adek?”

“Iya kali Ceu, buat adeknya,” ucap seorang pembeli membela Farhan.

Ceu Nining pun terpaksa membuat bumbu lotek yang baru. Farhan dapat merasakan ‘lelah’ dan ‘kebingungan’ orang dengar setiap kali mereka berusaha berkomunikasi dengannya. Namun Farhan sudah berusaha semampunya. Seharusnya orang dengar yang mengikuti cara orang tuli dalam berkomunikasi, bukan sebaliknya.

 

***

 

 

Di warung depan rumah, Umi Uum sedang membeli jamu gendong langganannya. Jahe, kunyit, dan kencur adalah campuran kesukaannya. Farhan pulang menaikkan sebelah tangan untuk menyapa Umi. Saat masuk ke dalam rumah, seperti sang ayah ia memiliki kebiasaan menutup pintu terlalu kencang sehingga mengagetkan orang-orang di sekitarnya.

BRAK!

Lihat selengkapnya