Silsilah

diannafi
Chapter #2

#2

 

Mukti melemparkan tasnya ke tempat tidur Tak peduli kamar dan ranjangnya berantakan, dia langsung melemparkan tubuhnya juga. Rebah. Telentang dengan kedua tangan terbuka.

Poster-poster habib yang menempel di dinding-dinding kamarnya saja yang membuatnya menahan diri dari meraung-raung karena kesal dan hampir putus asa.

Uft!

Sebesar apapun dia berusaha menaklukkan hati Larasati, nyatanya dia belum pernah berhasil.

“Kamu tuh ngaca. Memangnya siapa kamu? Larasati itu masih keturunan ningrat,”komentar Syukur, salah seorang temannya yang ternyata memperhatikan rautnya saat mendengar penolakan halus dari cewek idamannya itu.

“Kenapa memangnya kalau ningrat?” sahut Mukti masih dengan wajah ketekuk.

“Ya harus dapat ningrat juga,” sahut Syukur sembari menyambar kunci motor dari tangan Mukti.

“Biar aku saja yang di depan. Ntar kalau kamu ambruk di tengah jalan, aku juga yang jadi korbannya,” sambungnya.

“Itu gus Hamin kok bisa dapat Roro Sekar?” sahut Mukti sembari menyampirkan tas bututnya ke pundak kirinya. Bersiap membonceng Syukur.

“Lhah kan gus Hamin itu Gus. Gus itu ya masih ningrat to, ningratnya kaum Kyai,” ujar Syukur sembari menstarter motor. Dia sudah duduk di sadel depan. Mukti mengikutinya dengan mengangkang di sadel belakang.

“Aku?” lirih Mukti terdengar putus asa. Dia merebahkan kepalanya begitu saja di punggung Syukur yang menahan geli.

“Kamu walau memang dari kaum santri tapi ayahmu bukan kyai, jadi kamu bukan gus,” jelas Syukur, meski tentu saja Mukti sebenarnya sudah tahu tentang ini.

 “Kecuali kalau kamu masih keturunan sunan, lha itu malah hordogjumahwage[1],”celetuk Syukur sambil menge-gas laju motor, mengebut membelah jalanan. Seakan hendak membiarkan perih hati Mukti diterbangkan angin yang menampar-nampar mereka. Seakan hendak menerbangkan Mukti agar segera bisa rebah dan ambruk di rumahnya sendiri.

Dan begitulah yang terjadi. Di kamarnya kini Mukti merenungi nasib buruknya hari ini. Untung ada Syukur, anak kampung sebelah yang mengantarnya selamat sampai rumah.

Pesta kelulusan yang semestinya menyenangkan malah merusak harinya. Dia kira hari ini kesempatan terbaiknya mengungkapkan perasaannya pada Larasati. Tapi dugaannya salah.

Mukti baru memutuskan akan tidur saja untuk mengurangi keresahannya, ketika telinganya menangkap suara tangis dari sebelah kamar.

“Apalagi sekarang?” desisnya menahan kesal.

Dia sudah cukup jengkelpagi ini karena ulah Larasati. Gadis pujaannya itutak hanya cantik wajah dan cerdas, tetapi juga punya karisma, membuat banyak orang termasuk Mukti tertarik padanya sejak awal dulu mereka bertemu dan berkenalan di kampus. Sayangnya, tadi pagi Larasati

Lihat selengkapnya