Mukti jadi teringat kata-kata Syukur tadi pagi. Semua akan berbeda jika Mukti adalah keturunan Sunan. Wah. Secercah harapan tumbuh di hati Mukti.Geram rasanya tiap kali melihat gus Hamin bisa sedemikian mudahnya mendapat segala macam kemudahan dan fasilitas dari siapa saja. Bahkan juga perhatian dari Larasati dan banyak cewek lain. Semakin geram karena Mukti tahu gus Hamin sering memandang dirinya dengan sebelah mata. Terkesan meremehkan, meski dari mulutnya terdengar kata-kata manis dan santun.
Mukti bisa apa melawan keningratan dan ke-gus-annya itu selama ini. Tapi semuanya mungkin akan berbeda kalau omongan mbak Ayu ini benar.
“Mbak Ayu nggak main-main kan dengan yang barusanmbak bilang?” Mukti tidak bangkit dari duduknya, tapi menggeser kursinya lebih dekat ke kakaknya yang duduk di pinggir ranjang.
“Enggak lah. Ini nih. Aku dapat ini dari sepupu kita, Ozi,” Ayu mengambil selembar kertas yang dilipatnya di bagian sampul diari.
Dia memberikankertas lusuh itu pada adiknya. Mukti menerimanya, ternyata sebuahfoto kopi-an. Mencermatinya dengan cermat dan mata terbelalak. Gambar pohon keluarga itu menggambarkan silsilah mereka. Dan nama-nama di sana membuatnya tercengang.
“Ozi dapat ini dari mana?” Mukti mengibaskan lembar silsilah itu.
“Dari kakek, mbah Ubed. Siapa lagi?” jawab Ayu mantap.
Ozi ini sepupu mereka, putra dari kakak almarhum ayah. Sedangkan Mbah Ubed mertua Ozi, masih saudara jauh mereka juga. Ayahnya mbah Ubed adalah kakak dari kakeknya Mukti.
“Ini beneran?” Mukti mengernyitkan kening.