Cahaya mentari pagi mulai menyapa. Dengan gerakan perlahan, dirinya mulai menyelinap memasukki celah-celah kaca jendela kamarku. Suara kicauan burung ditambah suara alarm yang kian nyaring terdengar di indera pendengaran membuatku langsung tersadar dari alam mimpi indahku semalam.
Aku menggeliat beberapa kali dan bangun dengan kondisi masih setengah sadar. Ku langkahkan kakiku ke arah jendela kamar yang masih tertutup gorden dengan sempurna. Sambil mengucek mata dan sesekali menguap, ku buka gorden jendela hingga menampakkan suasana cerah nan indah di pagi hari.
“Hoammm... indah sekali pagi ini!” ucapku mengamati langit yang begitu cerah di luar sana.
Dengan langkah gontai, kuambil handuk dan langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berhubung hari ini aku sedang libur kerja, kupuaskan untuk berlama-lama di kamar mandi tanpa berpacu dengan waktu seperti hari biasa ketika aku bekerja.
Kurang lebih sekitar 1,5 jam, aku keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat segar dari sebelumnya. Jujur, waktu mandiku pagi ini sangat bertolak belakang dengan waktu mandiku ketika hari bekerja yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit. Maklumlah, naluri perempuan jika sedang hari libur menjadi sedikit pemalas.
Kubuka almari bajuku untuk memilih baju-baju yang ada, hingga pilihanku jatuh pada celana jeans biru dongker dipadukan dengan kaos putih oblong. Selesai berganti baju, aku duduk di depan meja rias sembari memoles make up tipis agar wajahku tidak kelihatan terlalu pucat. Terakhir, barulah aku menyisir rambutku yang terlihat sudah semakin panjang. Bahkan bisa dikatakan sudah hampir sepinggang.
Tok... tok... tok... suara ketukan di depan pintu kamarku, menghentikan aktivitasku yang sedang menyisir rambut. Aku beranjak dari tempat dudukku dan segera menuju ke sumber suara.
Ketika aku membuka pintu kamar, kudapati sosok perempuan yang paling berarti dalam hidupku sedang berdiri tepat di depanku. Dengan kostum khas ala ibu-ibu di dapur, dirinya masih saja setia dengan celemek lusuh yang selalu dipakai untuk menemani kegiatan masaknya setiap hari. Walaupun celemek itu terbilang sudah lusuh, tetapi menurutnya celemek itu menyimpan banyak kenangan bersama Ayahku dulu.
“Selamat pagi sayangnya Bunda!” sapa Bunda tersenyum dengan wajah mudanya yang tampak belum pudar meski tertutup kerut-kerut halus usia dan kelelahan.
“Pagi juga Bundaku tersayang!” balasku yang langsung memeluk dan mencium pipinya.
“Aduh, jangan cium-cium Bunda dulu sayang. Ini Bunda bau ikan lho, nanti kamu malah ikut-ikutan bau lagi!” tolaknya halus melihat tingkah laku anaknya seperti anak kecil.
“Ya ampun Bunda, nggak papa kali aku bau ikan. Kan siapa tahu aja nanti aku ketularan jago masak kaya Bunda!”
“Ada-ada aja deh kamu ini ngomongnya sayang. Eh ngomong-ngomong jago masak, gimana kalau kamu bantuin Bunda masak di bawah. Bunda lagi kerepotan banget ini sayang!” pinta Bunda sembari mengedipkan mata membujukku.
“Kayaknya aku salah ngomong deh ini. Emangnya Bunda masak apa sih sampai kerepotan gitu?” heranku karena tak biasanya Bundaku ini mengalami kerepotan di dapur. Bahkan masak sendiri di hari biasanya pun bisa diatasinya tanpa perlu bantuan Bi Imah.
“Nanti malam, kita kedatangan tamu penting sayang. Jadi, Bunda harus menyiapkan makanan yang spesial untuk menyambut kedatangan mereka!” Mendengar jawaban Bunda, pikiranku langsung bertanya-tanya tentang siapa tamu yang akan datang ke rumah nanti.
“Kamu bantuin Bunda ya!” bukannya menjawab, aku malah diam hingga pikiranku kembali ke peristiwa yang terjadi setahun lalu.