Denting waktu terus berjalan, hingga kini telah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Aku terbangun dan baru sadar jika sedari tadi aku tertidur di depan meja riasku. Buru-buru aku langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Aku keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Seketika aku terkejut, ketika melihat telapak kaki yang kini berdiri tepat di depanku. Aku mendongak, melihat Kak Dhina yang kini terlihat cantik dengan balutan dress berwarna biru.
“Ya ampun ini beneran Kak Dhina?” Aku seolah tak percaya dengan apa yang barusan kulihat.
Mendengar ucapanku yang seolah tak percaya dengan penampilannya malam ini, Kak Dhina membalasnya dengan mengangguk tanda mengiyakan.
“Gimana menurut kamu, aku cantik nggak hari ini?” tanya Kak Dhina meminta pendapat sembari berputar dengan dress yang dipakainya.
“Cantik banget Kak, aku aja sampai pangling lihatnya!” pujiku jujur karena memang Kak Dhina walaupun tanpa make up pun, dia sudah kelihatan manis dengan lesung pipit yang dimilikinya.
“Aduh makasih adekku sayang!” Kak Dhina langsung memelukku sambil mencium pipiku.
“Oh iya, Kak Dhina ngapain ke kamarku? Bukannya siap-siap pemanasan dulu biar nanti nggak jantungan kalau Mas Bagas melamar?” heranku sembari mengeringkan rambut.
“Kamu ya ledekin Kakak, awas aja kalau nanti kamu dilamar orang pasti juga ngerasain hal yang sama kaya Kakak. Kakak kesini itu mau ngasih dress ini buat kamu pakai nanti!” Kak Dhina mengambil dress berwarna biru di tepi ranjangku dengan model yang berbeda darinya, dan memberikannya kepadaku.
“Emang harus pakai dress ini ya, Kak?” tanyaku yang terkesan sedikit menolak. Karena jujur saja, aku tidak terbiasa dengan dress yang terlalu girly.
“Ya harus dong adekku sayang. Kan ini acara penting buat Kakak, jadi kamu juga harus tampil cantik sama seperti Kakak kamu ini!”
Mendengar ucapannya barusan, aku dapat menyimpulkan jika ada maksud tersembunyi dibalik perkataannya barusan. Aku menyipitkan mataku seolah menelisik maksud yang sedang direncanakan oleh Kak Dhina sembari bersilang tangan di depan dada.
“Jangan bilang, kalau Kak Dhina bakalan...”
“Anak pintar, sini Kakak dandanin kamu biar kelihatan beda dari biasanya!” Kak Dhina menarik kursi di depan meja riasku, lalu memegang pundakku dan menyuruhku duduk.
“Kak, jangan dandanin aku yang menor kaya tante-tante lho ya!” peringatku sebelum Kak Dhina memulai aksinya.
“Iya bawel tenang aja, Kakak juga tahu kali make up yang cocok buat kamu sayang!” Kak Dhina kini membuka peralatan make up nya yang membuatku tersadar seketika, kalau dia ternyata membawa kotak make up bersama dress tadi ke kamarku.
“Ih Kak Dhina jangan asal semprot kali, ini cairannya kena mataku!” protesku saat Kak Dhina memulai aksinya dengan menyemprotkan setting spray make up ke wajahku.
“Refleks Dek, habisnya Kakak kalau make up pin orang terlalu bersemangat hehehe!” Bukannya merasa bersalah, dia malah senyum sambil tertawa cekikikan.
“Jangan tebal-tebal kasih foundation ke mukaku, Kak!” protesku yang kesekian kalinya saat Kak Dhina mulai memoleskan foundation ke wajahku.
Bukannya menjawab, Kak Dhina beralih mengambil lakban berwarna hitam yang berada di dekat meja riasku. Aku menatapnya dengan perasaan curiga. Dengan gerakan cepat, Kak Dhina tiba-tiba saja membekap mulutku dengan menempelkan lakban berwarna hitam yang diambilnya tadi.
“Nah, kalau gini kan cepet aku dandanin kamu nya, Dek!” Kak Dhina tersenyum puas dengan apa yang dilakukannya, sementara aku memilih diam agar cepat selesai.
Nada dering ponselku tiba-tiba berbunyi, saat Kak Dhina tengah mencopot lakban yang menempel di mulutku. Aku beranjak dari tempat dudukku dan berniat untuk mengambil ponsel yang berada di atas nakas dekat tempat tidurku. Namun, Kak Dhina menyuruhku tetap diam di posisiku saat ini.
“Apaan sih Kak, aku mau ambil hpku kok malah ditahan kaya gini sih? Nanti kalau ada panggilan penting dari seseorang terus nggak aku angkat, pokoknya Kak Dhina yang tanggung jawab!” gerutuku kesal.
“Dasar bawel! Tunggu bentar napa, ini Kakak selesaiin make up kamu dulu. Orang tinggal pakai lipstick juga, susah amat dibilangin!” balas Kak Dhina yang tengah memoleskan lipstick dengan teknik ombre ke bibirku.
“Sabar Dhit, ini bagian dari ujian. Semoga aja, orang yang menelponku tadi tidak marah!” batinku menahan sabar yang hampir mencapai puncaknya.
“Oke selesai, silahkan ananda Ardhita Sekar Pramesti Haryono untuk bercermin dan memberi penilaian terhadap hasil make up karya Ardhina Sekar Primariesti Haryono yang cantik ini!” Kak Dhina sedikit bergeser memberikan kesempatan kepadaku untuk bercermin di depan meja riasku.
Tak kusangka, jika hasil make up Kak Dhina ini sungguh luar biasa dan sesuai dengan permintaanku tadi. Polesan yang tidak terlalu tebal dan terkesan natural. Aku tersenyum puas melihat pantulan bayangan diriku sendiri di depan cermin. Bahkan, aku sendiri tidak meyangka jika penampilanku bisa berubah dari biasanya hanya dengan polesan make up.
“Ya ampun Dek, ternyata yang nelepon tadi Gavin!” Kak Dhina menyerahkan ponselku dengan wajah sedikit bersalah.
“Udah tenang aja Kak, nanti aku telepon dia balik. Ngomong-ngomong, aku suka banget sama hasil make up nya Kak!” jawabku jujur membuat Kak Dhina merasa senang.
“Tuh kan apa Kakak bilang, kamu sih protes mulu dari tadi makanya Kakak lakban mulut kamu hahaha!” balas Kak Dhina sembari membereskan peralatan make up nya.