Di ujung jalan kecil yang jarang dilalui, sebuah rumah sederhana berdiri tenang, seolah menyatu dengan bayang-bayang pohon di sekitarnya. Setiap pagi, langkah Ayu tak pernah luput melewati rumah itu. Dan seperti biasanya, di sana—di balik jendela yang memantulkan cahaya lembut matahari pagi—terlihat sosok pria yang kini sudah teramat dikenalnya dalam diam.
Ayu menatap lelaki itu dengan rasa penasaran yang begitu dalam, seakan ada misteri yang menunggu di balik keheningannya. Lelaki itu selalu duduk di depan meja kerjanya, pandangannya terpaku pada layar laptop dengan konsentrasi yang nyaris tak terpecahkan. Sesekali, ia berhenti sejenak, membuka buku tebal yang berada di sampingnya, membaca beberapa lembar, lalu kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Ayu tidak tahu apa yang ia kerjakan, namun ada pesona tertentu dalam setiap gerakannya yang memancarkan kedamaian. Barangkali, dalam setiap tatapan lelaki itu pada layar laptop dan lembaran bukunya, tersimpan kisah yang ia simpan rapat-rapat dari dunia luar.
Ayu ingin tahu lebih banyak tentangnya. Tapi setiap kali hatinya berbisik untuk berkenalan, keberaniannya seakan tertahan di ujung lidah. Ada ketakutan aneh yang menyelimutinya, seperti angin yang menerpa dingin di pagi hari.
Suatu hari, saat matahari mulai meninggi, lelaki itu beranjak dari kursinya. Ayu mengamati dengan hati yang berdebar. Ia memperhatikan lelaki itu berdiri dan melangkah ke ruang lain—saat waktu sholat tiba. Gerakan lelaki itu begitu tenang, wajahnya tampak meneduhkan, seolah memancarkan ketulusan yang menjalar ke seluruh ruangan. Setiap kali ia kembali duduk di mejanya, Ayu merasa seolah ada sebuah energi baru yang mengelilinginya, membuat suasana rumah sederhana itu tampak lebih hangat.
"Mungkin hanya kebetulan," Ayu bergumam dalam hati, mencoba meredam perasaannya yang semakin kuat. Tetapi entah kenapa, setiap kali melihat lelaki itu, hatinya terasa hangat, serupa matahari yang perlahan-lahan mengusir embun di dedaunan.
Meski demikian, Ayu tak pernah berani mendekat. Dari kejauhan, Ayu tetap menyimpan pandangannya, menjadikan lelaki itu seperti rahasia kecilnya yang hanya ia ketahui. Ada kenyamanan yang ia temukan dalam menatapnya, dalam menyaksikan setiap gerak dan jeda pria itu.
Hingga suatu pagi, ketika langit sedikit mendung dan jalanan tampak lengang, Ayu melewati rumah itu dengan langkah pelan. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Tirai jendela setengah tertutup, hanya menyisakan sedikit celah di mana mata Ayu bisa mengintip. Pria itu, yang selama ini hanya menjadi bayangan di balik jendela, ternyata menyadari kehadiran Ayu.
Ayu hampir melangkah mundur, namun lelaki itu tersenyum, sebuah senyuman yang ramah, dan sedikit terkejut namun tak canggung. Hatinya berdesir, detak jantungnya seakan berlomba dengan detik-detik waktu yang terasa melambat.
"Apa kabar, Nona?" tanya lelaki itu tiba-tiba. Suaranya rendah, tenang, seperti air yang mengalir tanpa riak.
Ayu terpaku. Hanya sapaan singkat, namun baginya terasa seperti denting lonceng yang membangunkannya dari mimpi panjang. Setelah beberapa saat, ia pun menjawab dengan suara lirih.
"Kabar baik, dan... Anda sendiri?"
"Baik, terima kasih. Saya sering melihat Anda melewati rumah ini. Apakah Anda tinggal di sekitar sini?"