Pagi itu, Mentari menembus celah jendela kamar tua yang telah lama tak ditempati. Aroma kayu yang terjemur memenuhi udara, bercampur dengan aroma melankolis dari surat-surat yang tersimpan di sana. Tumpukan kertas yang telah berdebu, usang, namun masih rapi diikat pita lusuh. Di antara mereka, ada satu surat yang berbeda. Sebuah amplop kuning pucat yang menyembunyikan kisah cinta yang tak pernah terungkap.
Surat itu ditulis oleh seorang pemuda bernama Jaka, untuk seseorang yang pernah ia cintai dengan seluruh keberadaannya, seorang gadis bernama Ayunda. Selama bertahun-tahun, surat itu tersimpan dalam laci tanpa pernah sampai ke tangan Ayunda. Di lembaran kertasnya, ada tinta yang membekas tajam—tebal, namun penuh hati-hati. Surat itu berisi ungkapan hati yang begitu dalam, penuh asa yang tak pernah mendapatkan kesempatan untuk disampaikan.
Dahulu, Jaka dan Ayunda adalah dua sahabat yang selalu bersama. Waktu mempertemukan mereka pada sebuah hari di taman kota, saat Jaka sedang memotret bunga-bunga di bawah sinar matahari sore. Ayunda datang dengan senyum cerah, menawarkan sekuntum mawar putih yang jatuh ke tanah. Mereka berdua berbicara, saling bertukar pandangan tentang hidup, mimpi, dan segala hal yang biasa dipandang remeh oleh orang lain. Seiring waktu, hati Jaka mulai mengerjakan kisahnya sendiri, sebuah kisah cinta dalam diam.
Namun, cinta yang ia rasakan bukanlah cinta yang tergesa-gesa. Cinta itu seperti embun pagi di daun—berkilau, namun rapuh jika disentuh. Setiap kali melihat Ayunda, Jaka selalu menahan diri untuk tidak berbicara lebih dari yang ia rasa pantas. Ia hanya bisa menyimpan perasaan itu dalam-dalam, takut kalau mengungkapkannya malah akan membuatnya kehilangan kebersamaan yang telah mereka bangun.
Suatu hari, Jaka memutuskan untuk menulis surat kepada Ayunda. Di sana, ia menuangkan seluruh isi hatinya, setiap kata tersusun rapi bagai untaian puisi. Surat itu ia tulis dengan penuh perasaan, membiarkan setiap huruf dan kata membawa cinta yang selama ini ia pendam. Ia menulisnya dengan tangan yang gemetar, namun yakin bahwa hari itu adalah saatnya baginya untuk memberanikan diri. Namun, ketika surat itu telah siap, keberaniannya surut.
Hari demi hari berlalu, dan surat itu tetap di dalam sakunya, tak pernah sampai ke tangan Ayunda. Hingga suatu ketika, mereka berpisah tanpa perpisahan. Ayunda harus pindah ke luar negeri bersama keluarganya, dan tanpa ia tahu, Jaka menyimpan surat itu di laci kamarnya, berpikir bahwa suatu hari nanti ia akan menyerahkannya. Namun, hari itu tidak pernah datang.
Tahun demi tahun berlalu, dan kini, di kamar tua itu, surat yang tak pernah sampai itu berbaring diam, menjadi saksi bisu atas perasaan yang pernah membara namun tak pernah terungkap. Pada setiap lekukan tinta yang mulai memudar, tersimpan jejak-jejak kerinduan yang masih terasa segar, seolah-olah waktu tak pernah menyentuhnya.
Hingga suatu hari, seorang pria muda bernama Ardi, keponakan Jaka, datang membersihkan rumah tua itu. Dengan tidak sengaja, ia menemukan surat yang terselip di antara tumpukan kertas-kertas usang. Rasa penasaran menggerakkannya untuk membuka amplop itu, dan ia mulai membaca dengan seksama.
Saat Ardi membaca surat itu, ia merasakan setiap kata seolah memiliki denyutnya sendiri, membawa getaran perasaan yang begitu dalam. Ia bisa membayangkan Jaka yang muda dan penuh harapan, menuliskan setiap kata dengan hati yang berdebar. Dalam surat itu, Jaka menulis:
“Ayunda, dalam sunyi aku belajar mencintaimu, seperti rembulan yang diam-diam mengagumi bumi. Meski aku tak pernah mengatakan, ketahuilah bahwa hatiku selalu berbisik namamu dalam setiap nafasnya. Mungkin, aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan, atau mungkin, aku hanya ingin mencintaimu dalam diam—sebuah cinta yang tak meminta, namun selalu memberi.”
Ardi tertegun. Surat itu membuatnya berpikir tentang cinta yang sering kita abaikan, tentang perasaan yang terlambat diungkapkan, dan tentang hati yang harus diam karena takut merusak kebersamaan. Ardi menyadari, surat ini bukan hanya sekadar ungkapan hati yang tak pernah tersampaikan, tetapi juga pelajaran tentang keberanian dan kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
Ia menyimpan surat itu dengan hati-hati, dan suatu sore, ia mendatangi makam Jaka dengan membawa surat itu. Sambil menatap nisan pamannya, Ardi mengucapkan doa, berharap Jaka merasa tenang di alam sana, dengan segala perasaan yang kini telah terungkap, meski dalam sunyi. Ardi tahu, cinta yang tak pernah sampai ini adalah kisah yang harus dibiarkan begitu, sebagai siluet indah yang tak akan pernah terlupakan.
Flashback persahabatan Jaka dan Ayunda:
Pagi itu, mentari mengintip malu-malu di sela dedaunan taman kota. Ayunda duduk di bangku kayu, ditemani secangkir kopi yang perlahan menguap di genggamannya. Di kejauhan, Jaka terlihat sibuk dengan kameranya, berjongkok di samping taman bunga yang sedang bermekaran. Matahari memantul di balik lensa kameranya, menyinari wajah Jaka yang serius namun penuh ketenangan.
Dengan senyum yang tenang, Ayunda memanggilnya. “Hei, fotografer, apa kau tidak bosan memotret bunga terus-menerus?”
Jaka menoleh, mendapati Ayunda tersenyum jahil. Ia mengangguk pelan, lalu berjalan mendekat. “Tidak, Yun. Bunga-bunga itu selalu punya cerita baru untuk diceritakan. Seperti kamu yang selalu bisa membuatku ingin mengenalmu lebih dalam setiap harinya.”
Ayunda terkekeh, menatap ke dalam matanya. “Ah, itu pujian atau sekadar kata-kata manis?”
Jaka tertawa pelan. “Aku serius, Ayunda. Kadang aku merasa, kau adalah rahasia paling indah dalam hidupku, yang tak pernah ingin kutemukan ujungnya.”
Ayunda terdiam sejenak, memandang wajah Jaka yang tulus. Ada sesuatu dalam caranya bicara yang selalu membuat Ayunda merasa hangat, namun juga cemas. Apakah ini persahabatan atau sesuatu yang lebih?
Suatu sore, ketika langit mulai berubah warna, mereka berdua duduk di bawah pohon tua, membiarkan angin bermain-main dengan daun-daun yang gugur.
“Ayunda,” Jaka memecah keheningan, suaranya hampir berbisik, “pernahkah kamu merasa takut untuk jatuh cinta?”
Ayunda menoleh, agak terkejut. “Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?”
Jaka tersenyum samar, matanya menatap jauh ke depan, seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. “Aku hanya… takut. Takut kalau aku jatuh cinta, lalu kehilangannya.”
Ayunda mencoba tersenyum, menutupi getaran di hatinya. “Mungkin… cinta itu memang seperti berjalan di tepian jurang. Kau tak pernah tahu apakah langkahmu selanjutnya akan membuatmu jatuh atau justru membuatmu lebih kuat.”
Jaka menatapnya dalam-dalam, bibirnya bergerak pelan. “Lalu, apa yang akan kamu pilih, Ayunda? Melangkah maju atau tetap diam?”
Ayunda terdiam lama sebelum menjawab. “Aku tak tahu, Jaka. Mungkin aku akan tetap di sini, bersama seseorang yang membuatku merasa aman meski hanya dengan tatapannya.”
Jaka menundukkan kepala, menyembunyikan senyumnya. Mereka duduk dalam keheningan, membiarkan perasaan yang samar-samar menyelimuti mereka tanpa kata.