Riuh rendah suara alat musik menggema di kelas musik kampus sore itu. Piano yang dipukul lembut, gesekan biola yang melengking, dan ketukan drum yang saling bersahutan menciptakan harmoni yang tak teratur. Namun, di sudut ruangan, di bawah lampu neon yang mulai berkedip, Dimas tampak tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia duduk di atas kursi kayu tua, memetik senar gitarnya pelan-pelan.
“Lagu baru lagi?” suara Karin memecah keheningan di antara mereka.
Dimas mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis, tanpa menghentikan jemarinya yang lincah menari di atas senar. “Hanya coba-coba.”
Karin mendekat, duduk di lantai dengan posisi bersila. Dia memiringkan kepalanya, mendengarkan dengan seksama melodi yang mengalun dari gitar Dimas. Matanya berbinar, seperti anak kecil yang baru saja menemukan hal menarik.
“Dimas,” katanya tiba-tiba, “Kenapa setiap lagu yang kamu buat selalu terdengar... sedih?”
Dimas terkekeh kecil, meski matanya tetap tertuju pada gitar. “Mungkin karena aku tidak punya alasan untuk membuat lagu yang bahagia.”
Karin mengernyit, mencoba mencerna jawabannya. “Aneh. Kamu selalu terlihat tenang, tapi lagu-lagumu terasa berat. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Dimas terdiam, lalu mengangkat bahu seolah tak ingin memberi jawaban. Ia menyimpan rahasianya di balik nada-nada itu, dan ia tak ingin siapa pun tahu, termasuk Karin.
“Coba nyanyikan,” pinta Karin sambil menepuk lututnya dengan semangat. “Aku mau dengar liriknya.”
Dimas tersenyum samar. “Belum ada liriknya.”
“Ah, basi banget!” Karin tertawa kecil, tapi ia tahu Dimas berbohong.
Mereka sering menghabiskan sore seperti ini, hanya berdua, di sudut kelas musik yang selalu terasa seperti tempat paling nyaman di dunia. Karin sering menganggap Dimas sebagai labirin. Pria itu tak pernah benar-benar membuka diri, tapi Karin tak keberatan. Baginya, teka-teki itu justru menjadi alasan kenapa ia tak pernah bosan berada di dekat Dimas.
“Besok kita latihan untuk konser, kan?” Karin bertanya sambil memutar-mutar ujung rambutnya.
Dimas mengangguk pelan. “Iya. Lagu duet kita sudah siap?”
“Seharusnya aku yang tanya itu ke kamu,” jawab Karin sambil tertawa, meski ia tahu Dimas sudah mempersiapkannya dengan sempurna.
Mereka akan tampil di konser musik kampus yang tinggal menghitung hari. Sebuah lagu duet yang dibuat oleh Dimas akan menjadi penutup acara. Lagu itu, meski tanpa Karin tahu, adalah bentuk pengakuan Dimas atas perasaannya. Namun, ia tidak pernah cukup berani untuk menjadikan liriknya sebagai pesan terang-terangan.
Di luar jendela, langit sore mulai berubah warna. Matahari yang perlahan tenggelam meninggalkan semburat jingga keemasan, seolah melukiskan akhir dari hari yang panjang. Karin melongok ke arah jendela, tersenyum kecil.
“Aku suka sore seperti ini,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Dimas menatapnya sekilas, lalu kembali pada gitarnya. “Kenapa?”
Karin mengangkat bahu. “Entah. Rasanya seperti... dunia melambat, memberi kita waktu untuk berpikir tentang apa yang benar-benar penting.”
Dimas ingin menjawab, ingin berkata bahwa apa yang penting baginya selalu ada di hadapannya saat ini. Tapi, seperti biasanya, ia memilih diam. Ia takut kata-kata itu justru akan mengubah segalanya—menghapus kenyamanan, merusak apa yang sudah mereka miliki.
Di luar sana, matahari semakin rendah, membiarkan bayangan mereka di ruangan itu memanjang. Hening kembali mengisi ruang, hanya ditemani suara petikan gitar yang kini terdengar melodius dan penuh perasaan.
Karin memejamkan mata, menikmati setiap nada yang dimainkan Dimas. Ia tidak tahu bahwa dalam setiap petikan itu, Dimas menyembunyikan sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tapi tak pernah cukup berani untuk diucapkan.
Hingga senja benar-benar menghilang, mereka tetap di sana—dua hati yang saling mencintai dalam kebisuan, terhubung oleh melodi yang tidak pernah berani menjadi kata-kata.
~
Hari konser semakin dekat. Suasana di kelas musik berubah sibuk, dipenuhi persiapan terakhir. Karin tampak berdiri di depan cermin besar, mencoba beberapa ekspresi sambil memegang mikrofon. Dimas duduk di kursi panjang, gitar di pangkuannya, menyetel nada dengan ekspresi serius.
“Dimas,” panggil Karin sambil berbalik. “Nanti malam kita gladi bersih, jangan telat.”
Dimas mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari gitarnya. “Aku nggak pernah telat, Karin.”
Karin menyipitkan matanya, tersenyum jahil. “Yakin? Kalau aku hitung-hitung, kamu pernah telat lima kali waktu semester lalu.”
“Lima?” Dimas mendongak dengan ekspresi pura-pura terkejut. “Itu pasti salah hitung.”
Karin tertawa. Momen kecil seperti ini selalu membuatnya merasa ringan. Di tengah hiruk-pikuk persiapan konser, keberadaan Dimas menjadi penyeimbang. Ia merasa Dimas adalah jangkar yang membuatnya tetap tenang, bahkan di saat segalanya terasa kacau.
Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang mengganjal di hati Karin. Lagu duet yang akan mereka bawakan terasa begitu personal. Ada emosi dalam setiap nadanya, seolah-olah lagu itu ditulis dengan perasaan yang mendalam.
“Dimas,” Karin akhirnya bertanya saat mereka beristirahat di pinggir ruangan. “Lagu kita… sebenarnya tentang apa?”
Dimas, yang sedang sibuk meminum air mineral, hampir tersedak. Ia menatap Karin dengan gugup, lalu mencoba mengalihkan perhatian. “Kenapa tiba-tiba tanya itu?”
Karin mengangkat bahu. “Entah. Aku merasa lagu itu punya cerita yang kamu sembunyikan.”
Dimas terdiam sejenak, jemarinya memainkan tutup botol air minum. Ia ingin menjawab dengan jujur, tapi lidahnya terasa kaku.
“Lagu itu…” katanya akhirnya, “tentang seseorang yang takut kehilangan apa yang sudah ia miliki.”
Karin mengernyit. “Maksudnya?”
Dimas menatapnya, tapi hanya sesaat. “Kadang, kalau kita terlalu jujur, kita bisa menghancurkan sesuatu yang penting. Jadi, lebih baik menyimpan perasaan itu, meskipun menyakitkan.”
Jawaban itu membuat Karin terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Dimas yang membuatnya yakin bahwa pria itu sedang bicara tentang dirinya sendiri. Tapi, seperti biasanya, Dimas selalu menutup diri sebelum Karin sempat menggali lebih dalam.
Malam gladi bersih tiba. Aula kampus penuh dengan alat musik, kabel, dan lampu sorot yang dipasang di berbagai sudut. Dimas dan Karin berdiri di atas panggung, memulai latihan untuk lagu duet mereka.
“Coba mulai dari bagian reff,” instruksi pengarah musik, yang sibuk memeriksa sound system.
Dimas memetik gitar, membuka lagu dengan melodi lembut. Karin mulai bernyanyi, suaranya mengalun dengan sempurna, seolah ia dan lagu itu adalah satu kesatuan. Namun, saat masuk ke bagian reff, Dimas tiba-tiba terhenti.
Karin menoleh, bingung. “Kenapa berhenti?”
Dimas menghela napas panjang, menatap gitar di tangannya seolah mencari jawaban. “Aku cuma… butuh waktu sebentar.”