Siluet Hati : Kumpulan Cerpen

Semut Kecil
Chapter #4

Melangkah Menuju Istiqomah

Sore itu, di sudut masjid yang megah, Dian duduk bersama barisan jamaah yang datang untuk mengikuti kajian. Ia memegang catatan kecil yang mulai terisi dengan tulisan tangan rapi. Ustadzah yang berdiri di depan menyampaikan materi dengan penuh kelembutan. Topik kali ini menyentuh hati banyak orang: istiqomah. Konsistensi dalam kebaikan—sebuah hal yang terlihat sederhana, namun sulit diterapkan. Dian mendengarkan dengan saksama, menyadari betapa seringnya ia merasa langkahnya berat saat mencoba berubah.

Di sampingnya, tiga sahabat setianya—Sinta, Ayu, dan Rita—duduk mendengarkan dengan fokus. Mereka bertiga adalah teman seperjuangan Dian dalam perjalanan spiritualnya. Meskipun datang dari latar belakang berbeda, mereka selalu saling mendukung untuk terus belajar. Dian merasa bersyukur memiliki mereka di sisinya.

Usai kajian, seperti kebiasaan mereka, keempat sahabat itu berjalan menuju kafe kecil di dekat masjid. Kafe ini telah menjadi tempat langganan mereka untuk berbincang dan melepas penat. Setelah memesan teh hangat dan camilan ringan, obrolan mereka mengalir seperti biasa. Namun, topik sore itu mengarah ke sesuatu yang lebih personal—awal mula mereka memutuskan berhijab.

“Aku dari SD sudah pakai hijab,” cerita Rita sambil tersenyum. “Tapi waktu itu, namanya juga anak kecil, sering lepas kalau main di luar rumah. Mama dulu sering marah, tapi aku santai aja.”

Sinta mengangguk sambil tersenyum. “Kalau aku mulai waktu kuliah. Itu pun awalnya karena lingkungan kampusku yang Islami. Tapi lama-lama aku sadar, ini lebih dari sekadar tren. Aku merasa lebih nyaman dan damai dengan hijab.”

Ayu, yang duduk di seberangnya, menambahkan, “Aku juga waktu kuliah. Awalnya aku cuma ikut-ikutan. Tapi setelah belajar, aku paham ini adalah bentuk penghormatan terhadap diriku sendiri. Aku jadi merasa lebih dihargai.”

Dian mendengarkan sambil tersenyum kecil. Ketika giliran berbagi tiba, ia berkata pelan, “Aku mulai waktu SMA. Tapi jujur, waktu itu aku nggak konsisten. Kadang aku pakai kalau pergi jauh atau acara-acara tertentu, tapi kalau di sekitar rumah, aku lepas.”

Pengakuan Dian membuat ketiga sahabatnya mengangguk paham. Mereka semua pernah berada di fase yang sama, ketika hijab terasa seperti pilihan situasional, bukan komitmen. Namun, perjalanan Dian memiliki titik balik yang berbeda—sebuah momen yang mengubah pandangannya secara mendalam.

~

Beberapa bulan sebelumnya, Dian mendapat tugas dinas ke luar kota bersama Vita, salah satu rekan kerjanya. Vita adalah tipe orang yang sederhana namun tegas, dan sering berbicara tanpa basa-basi. Di suatu sore setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka memesan makanan lewat aplikasi. Ketika pesanan tiba, Dian keluar dari kamar hotel untuk mengambilnya tanpa mengenakan hijab. Baginya, itu adalah hal yang biasa. Lagipula, ia hanya keluar sebentar, pikirnya.

Namun, ketika ia kembali ke kamar, Vita menatapnya dengan pandangan bingung. “Eh, kamu tadi nggak pakai hijab?”

Dian tertawa kecil. “Iya, cuma sebentar kok. Cuma ke depan.”

Vita mengangguk, lalu melanjutkan dengan nada santai tapi penuh arti, “Tapi di kantor kamu pakai kan? Kenapa di sini beda?”

Dian terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Setelah beberapa saat, ia hanya berkata, “Ya, di kantor banyak orang yang kenal.”

Vita tersenyum, tapi kalimat berikutnya menusuk hati Dian. “Sama aja, Dian. Orang-orang yang kita temui sama-sama bukan mahram, kan?”

Ucapan itu sederhana, tapi seperti pukulan keras bagi Dian. Ia tidak membalas apa-apa, namun kata-kata Vita terus terngiang di pikirannya selama berhari-hari. Selama ini, ia merasa tidak apa-apa jika tidak berhijab di sekitar rumah atau tempat yang ia anggap "dekat." Namun, apakah pandangan Allah juga mengenal batasan seperti itu? Apakah hijabnya hanya menjadi kewajiban yang ia pilih-pilih sesuai situasi?

Malam itu, Dian tidak bisa tidur. Ia mulai merenung tentang niat dan prinsipnya selama ini. Ia sadar, selama ini hijabnya lebih sering menjadi pelengkap daripada wujud ketaatan. Setelah berhari-hari merenung dan berdoa, ia memutuskan untuk mengubah kebiasaan itu. Ia bertekad untuk berhijab kapan pun dan di mana pun, tanpa memandang tempat atau jarak.

~

Keputusan Dian untuk berhijab secara konsisten membawa tantangan baru dalam hidupnya, yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Di awal, rasa canggung menjadi teman sehari-hari, terutama ketika ia harus berhadapan dengan orang-orang yang selama ini mengenalnya tanpa hijab. Lingkungan tempat tinggalnya mulai memperhatikan perubahan tersebut, tidak sedikit yang menatap dengan rasa ingin tahu.

"Kenapa sekarang pakai terus, Dian?" tanya salah seorang tetangganya ketika mereka berpapasan di depan rumah. Nada suara tetangganya terdengar netral, tapi cukup membuat Dian merasa sedikit tertekan.

Meski hatinya sering bergetar oleh pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Dian selalu berusaha menjawab dengan senyum yang tulus. “Aku hanya ingin lebih baik,” katanya sambil menunduk. Jawaban itu sederhana, namun bagi Dian, setiap kata memiliki makna yang mendalam. Ini bukan hanya tentang menjadi lebih baik di mata manusia, tetapi lebih kepada hubungan pribadinya dengan Allah.

Namun, tantangan tidak hanya datang dari luar. Ada peperangan lain yang jauh lebih berat peperangan di dalam dirinya sendiri. Dian sering kali dihantui oleh godaan untuk kembali ke kebiasaan lamanya. Ada hari-hari ketika ia merasa rindu pada kenyamanan hidup tanpa hijab, terutama ketika ia berada di lingkungan yang panas atau saat menghadiri acara santai di lingkungan keluarga yang sudah terbiasa melihatnya tanpa hijab.

“Kamu nggak gerah, Dian?” tanya seorang sepupunya pada suatu acara keluarga. Komentar yang terdengar sepele ini membuat Dian teringat betapa nyamannya dulu ia menghadiri acara keluarga tanpa merasa ‘berbeda.’

Ia tersenyum, mencoba tidak terganggu oleh pertanyaan itu. “Iya, kadang gerah. Tapi rasanya lebih nyaman seperti ini.”

Lihat selengkapnya