Pernahkah kamu ditegur sebegitu keras oleh Sang Pencipta? Teguran yang datang bagai badai yang memporak-porandakan setiap rencana yang telah rapi kau susun. Itulah yang sedang aku alami saat ini. Aku, seorang anak pertama yang memikul banyak harapan, kini berada di fase di mana Sang Pencipta begitu ingin aku kembali mendekat. Dalam hening malam, dalam sunyinya waktu sahur, aku mulai merasakan kerinduan-Nya yang begitu nyata. Kerinduan pada doa-doaku yang dulu tak pernah putus, pada air mata yang selalu jatuh dalam sujudku.
Semua ini bermula dari sebuah keputusan yang aku pikir adalah langkah terbaik. Langkah yang penuh keyakinan, namun ternyata membawa aku ke arah yang salah. "Kenapa begini, ya Allah? Bukankah aku hanya ingin menjadi anak yang bisa membanggakan keluargaku?" keluhku dalam tangis malam itu. Suara detik jam terdengar seperti hujan yang mengguyur atap; terus menerus, tak berhenti. Aku terduduk di atas sajadah, mencoba mengurai kekacauan ini di hadapan-Nya. Alih-alih menyebutnya musibah, aku memilih menyebut ini tanda cinta-Nya. Cinta yang datang dengan cara yang tak pernah aku bayangkan.
Di tengah keterpurukanku, ibu adalah orang yang paling kecewa. Aku tahu itu. Beliau tidak pernah mengatakan apa pun dengan keras, tetapi sorot matanya cukup untuk membuat hatiku remuk. Di satu sisi, aku merasa menjadi anak yang paling gagal. Namun di sisi lain, aku percaya, ini adalah bagian dari takdir indah yang sedang dirancang oleh-Nya.
"Kamu nggak perlu kuat sendirian, tahu," kata Laila, salah satu teman sholehahku, sambil menyodorkan secangkir teh hangat.
Aku tersenyum kecil, meskipun mataku masih sembap karena menangis. "Kadang aku ngerasa, aku tuh udah terlalu jauh, Lai. Jauh dari Allah, jauh dari tujuan aku hidup..."
"Justru karena itu, Allah rindu. Kamu tahu kan, kalau kita dibiarkan saja tanpa cobaan, itu tandanya Allah nggak peduli? Tapi lihat sekarang, kamu ditegur, berarti Allah masih sayang."
Kata-kata Laila seperti setetes embun di padang pasir yang gersang. Aku mengangguk pelan. Benar, pikirku. Teguran ini bukan untuk menghancurkanku, tetapi untuk mengembalikan aku ke jalan yang seharusnya. Aku mulai melihat bahwa keberadaan teman-teman sholehah seperti Laila adalah bentuk kasih sayang Allah yang lain. Mereka adalah pelita kecil yang membantu aku berjalan di lorong gelap ini.
"Kak, kok akhir-akhir ini suka nyendiri?" tanya adikku, Rani, suatu sore ketika aku sedang duduk di teras rumah.
Aku menatapnya dan tersenyum. "Nggak apa-apa. Kakak cuma lagi banyak mikir."