Siluet Hati : Kumpulan Cerpen

Nursan
Chapter #6

Cermin di Antara Aku dan Aku

Malam telah lama menutup tirai langitnya, tapi lampu di kamarku belum padam.

Aku berdiri di depan cermin — tubuhku tampak utuh, tapi mataku retak di dalamnya.

Ada jeda panjang di antara napas dan pikiranku, seolah udara pun enggan menetap terlalu lama di dada ini.


Aku menatap sosok di sana: seseorang yang kukenal, tapi terasa asing.

Kulitnya masih sama, rambutnya masih jatuh ke arah yang sama, tapi ada sesuatu di balik sorot matanya — sepi yang tak bisa dijelaskan.

Seolah seluruh hidupnya adalah tentang menahan air mata agar tidak menjadi bukti kelemahan.


“Kenapa kamu terlihat seperti itu?” tanyaku dalam hati.

Cermin tidak menjawab. Ia hanya mengulang bentuk wajahku dengan kejujuran yang kejam.


Kadang aku ingin membenci pantulan itu, karena ia tahu semua hal yang berusaha kusembunyikan:

bagaimana aku berpura-pura kuat, bagaimana aku tersenyum saat dunia terasa menutup pintunya, bagaimana aku menertawakan hal-hal kecil agar tidak tampak kosong.


Aku menatap bibirku yang diam.

Ada banyak kata yang ingin keluar, tapi seakan menabrak dinding yang tak kasatmata.

Mungkin karena aku takut mendengar suaraku sendiri — takut tahu bahwa aku tidak sebaik yang selama ini kuanggap.


Cermin itu dingin, tapi ia jujur.

Ia tidak bisa dibohongi dengan pencitraan, tidak bisa dipoles dengan kata-kata yang manis.

Ia memantulkan setiap retakan, setiap lelah, setiap luka yang berusaha kutambal dengan logika.


Aku menyentuh permukaannya — dinginnya menembus kulit, seolah menarikku masuk ke dalam pantulan itu.

Untuk sesaat, aku tak tahu siapa yang sebenarnya menatap siapa.

Apakah aku sedang menatap diriku, atau diriku yang di dalam sana sedang menatapku, menghakimi dalam diam.


Malam makin larut, dan aku makin kecil di dalam pikiranku sendiri.

Aku merasa seperti berdiri di tepi jurang yang dibuat oleh waktu dan kesunyian.

Mungkin begini rasanya ketika seseorang kehabisan alasan untuk terlihat baik-baik saja.


“Apa kamu bangga dengan dirimu?”

Pertanyaan itu tiba-tiba muncul, entah dari mana.

Aku terdiam. Rasanya tidak. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana caranya berhenti mencoba.


Kadang aku merasa hidup hanyalah tentang menambal kesalahan dengan alasan, menutupi luka dengan doa yang diulang tanpa makna.

Aku percaya pada Tuhan, sungguh. Tapi malam seperti ini membuatku merasa seperti seorang anak yang kehilangan arah di tengah taman yang dulu akrab.

Aku tahu Dia ada, tapi aku tidak tahu apakah aku masih bisa kembali ke cahaya yang dulu kupahami.


Cermin tetap diam.

Ia membiarkanku bergulat dengan pikiranku sendiri — seolah tahu bahwa tidak semua perang butuh saksi.


Dalam pantulan itu, aku bukan pahlawan.

Aku hanya seseorang yang lelah, yang berusaha terlihat kuat agar dunia tidak tahu betapa rapuhnya aku di balik senyum yang kutata setiap pagi.

Dan entah kenapa, malam ini aku tidak ingin kuat lagi.

Aku hanya ingin jujur.


Mungkin kejujuran adalah bentuk keberanian yang paling sepi — karena tidak ada yang bisa ikut berdiri di sana bersamamu, kecuali dirimu sendiri.


Aku menunduk, menarik napas panjang, lalu berbisik pada pantulan itu:

“Maaf… karena selama ini aku lebih sering berperang melawanmu daripada memelukmu.”


Cermin tidak menolak, ia hanya menatap balik — dingin tapi tidak lagi menakutkan.

Dan dari sana, kenangan datang perlahan.


~


Aku duduk di lantai, bersandar pada meja rias, menatap bayangan yang kini hanya setengah tampak oleh cahaya lampu yang melemah.

Entah kenapa, di tengah keheningan seperti ini, ingatan justru datang berbondong-bondong, seperti hujan yang enggan berhenti meski langit sudah lelah menangis.


Aku memejamkan mata, dan tiba-tiba semuanya terasa akrab.

Suara langkahku di jalan tanah yang dulu sering kulewati, aroma sore dari udara yang membawa pulang masa kecilku — semuanya kembali, dengan cara yang lembut tapi menyesakkan.

Di sana, aku masih anak-anak. Masih percaya bahwa semua luka bisa sembuh hanya dengan tidur semalam dan bangun dengan matahari yang baru.

Lihat selengkapnya