Kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Dalam gelapnya malam, lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kuning yang remang, menari-nari di atas genangan air hujan yang masih tersisa. Di sebuah apartemen kecil di lantai sepuluh, Bellva Sinclair terbangun dengan tiba-tiba. Napasnya terengah, dadanya naik turun seperti habis dikejar mimpi buruk. Namun, ini bukan mimpi biasa. Ada sesuatu yang salah.
Dengan tangan gemetar, Bellva menyeka keringat yang membasahi dahinya. Pandangannya kosong, terpaku pada plafon yang tidak menawarkan jawaban. Ruangan apartemennya mendadak terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk hingga ke tulang. Kesunyian malam pun berbisik nyaring di telinganya, membuatnya merasa semakin terasing.
“Apa yang barusan aku lihat?” gumamnya pelan, suara parau dan bergetar.
Bellva menggeser tubuhnya, duduk di tepi ranjang dengan tangan mencengkeram seprai. Napasnya berusaha dia kendalikan, tetapi rasa gelisah tetap menggantung di dadanya. Dari sudut matanya, dia menangkap sesuatu. Sebuah bayangan gelap yang bergerak cepat. Jantungnya berhenti sesaat. Bellva segera menoleh.
Ternyata hanya cermin. Di sudut kamar, pantulan dirinya terlihat dalam keremangan. Rambut hitamnya acak-acakan, matanya menyiratkan kekacauan, seolah-olah jiwa dan pikirannya telah diterpa badai. Namun, ada sesuatu tentang cermin itu. Sesuatu yang membuat tengkuknya meremang. Dia menatap pantulannya lebih lama dari yang seharusnya, mencoba memastikan apakah bayangan itu benar-benar miliknya atau ada sesuatu yang lain.
Bellva memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, gambar-gambar tiba-tiba menyeruak di pikirannya. Potongan-potongan visual berkelebat seperti film yang diputar dengan kecepatan yang salah, terlalu cepat, terlalu buram, tetapi cukup nyata untuk mengguncangnya.
Bellva melihat seorang pria mengenakan jas abu-abu di sebuah ruangan dengan cahaya redup. Wajahnya samar, tetapi senyumnya yang sinis begitu jelas, seperti menembus kabut yang menyelimuti gambaran itu. Lalu terdengar suara dalam, berat, dan menggema di kepalanya.
“Waktumu sudah hampir habis.”
Bellva membuka matanya dengan cepat, napasnya tertahan. Sayangnya, bayangan itu tidak juga pergi. Gambaran itu justru terus menempel di benaknya, semakin tajam dan detail. Dia memegang kepalanya, seolah-olah mencoba mengusir potongan-potongan asing itu.
Ruangan dalam bayangan itu mulai terlihat lebih jelas. Sebuah tempat yang asing. Ada meja kayu tua dengan ukiran yang aneh di sudutnya dan di atas meja itu terdapat sebuah simbol misterius. Simbol lingkaran dengan gambar oktagram di tengahnya, seolah menjadi tanda dari sesuatu yang penting atau sesuatu yang mengancam.
“Apa ini? Siapa pria itu?” bisiknya pelan, suara Bellva hampir tidak terdengar, tenggelam dalam hiruk-pikuk pikirannya sendiri. Rasa takut dan penasaran bercampur, menahan dirinya untuk tidak tenggelam dalam arus gambar-gambar itu. Namun, sulit untuk mengabaikan bahwa ada seseorang yang sedang mencoba mengirimkan pesan.
Gambar-gambar itu hanya bertahan beberapa menit sebelum perlahan memudar, seperti asap yang ditiup angin. Namun, rasa dingin yang menjalar dari tulang belakang hingga ke ujung jarinya tetap terasa. Dengan tubuh sedikit gemetar, Bellva bangkit dari ranjang dan berjalan menuju dapur kecil di apartemennya. Tangannya gemetar ketika dia menuangkan segelas air dari dispenser.
“Ini hanya mimpi buruk. Ya, hanya mimpi buruk,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Di lubuk hatinya, dia tahu itu lebih dari sekadar mimpi. Ada sesuatu yang nyata, sesuatu yang tidak dia pahami.
Pandangan Bellva teralih ke jam dinding yang tergantung di dapur. Pukul 02.43 pagi. Suasana dini hari yang senyap semakin menambah rasa dingin yang merayap. Dia kembali ke kamarnya, berusaha merebahkan tubuh di ranjang. Saat dia mencoba menutup matanya, bayangan pria dengan senyum sinis dan simbol misterius itu terus menghantuinya, seperti hantu yang menolak pergi.
Bellva menghela napas panjang, menatap plafon kamar. Perasaan cemas yang tidak terdefinisi menyelimutinya. Sesuatu telah berubah malam ini. Bellva menyadari, meskipun dia ingin mengabaikannya, semua ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
***
Pagi itu, Bellva memandangi pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Lingkaran gelap di bawah matanya mencerminkan betapa buruk tidurnya semalam. Dia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap kesegaran itu mampu mengusir sisa-sisa mimpi buruk yang terus membayangi pikirannya.
"Bell, kamu tidak bisa terus seperti ini," gumamnya lirih, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Saat sarapan, dia memutuskan untuk menelepon Livia dan menceritakan kejadian semalam.
“Bell, itu cuma mimpi. Kamu kebanyakan stres akhir-akhir ini. Tubuhmu mungkin sedang kasih sinyal kalau kamu butuh istirahat,” kata Livia dengan nada santai, seolah masalah itu tidak berarti apa-apa.
“Tapi, Liv, ini beda. Rasanya terlalu nyata. Aku bisa merasakan dinginnya ruangan itu, mendengar suara pria itu... semuanya terlalu jelas untuk disebut mimpi.”
Livia terkekeh kecil. “Kamu kebanyakan nonton film, Bell. Udah, fokus aja sama pekerjaanmu. Jangan dipikirin terlalu dalam.”