Bellva duduk termenung di kursinya, tangannya menggenggam erat ponsel yang baru saja menerima sebuah foto dari Livia. Foto itu menampilkan sebuah peta dengan simbol lingkaran dan gambar oktagram di tengahnya, menandai lokasi yang terasa begitu familiar baginya. Itu adalah galeri seni tua yang baru saja menjadi TKP pembunuhan. Momen itu seperti sebuah mimpi buruk yang kini semakin nyata. Dia tahu, tidak ada lagi ruang untuk mengabaikan apa yang sedang terjadi.
“Tidak mungkin...” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar di udara yang sunyi.
Mobilnya melaju pelan di jalan yang sepi. Seolah-olah bahkan mesin mobil itu pun merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Bellva berusaha menenangkan dirinya, meskipun jantungnya terus berdetak tidak karuan, seirama dengan kekacauan pikirannya. “Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Tiba-tiba layar ponselnya menyala kembali, membuat Bellva sedikit tersentak. Suara Livia terdengar lebih tegang dari sebelumnya.
“Bell, kamu masih di luar? Jangan masuk ke sana dulu. Aku baru menemukan sesuatu yang lebih aneh,” kata Livia dengan nada tergesa.
Bellva menahan napas, rasa khawatir mulai menjalari tubuhnya. “Apa lagi, Liv?” tanyanya dengan suara hampir berbisik.
“Korban yang kamu autopsi pagi tadi…” Livia berhenti sejenak, seperti mencari kata yang tepat. “Dia punya catatan. Catatan tentang pertemuan rahasia dengan organisasi yang bernama The Silent Shadows.”
Darah Bellva seakan berhenti mengalir. “The Silent Shadows?” tanyanya, suaranya dipenuhi rasa penasaran dan ketakutan. “Apa itu?”
Livia menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku belum bisa memastikan, Bell, tapi ini bukan organisasi biasa. Dalam catatan itu, ada informasi tentang pemilihan anggota baru. Seperti… seperti mereka sedang mencari seseorang.”
“Memilih?” Bellva mengerutkan kening, mencoba mencerna maksud dari kata itu. “Untuk apa?”
“Entahlah,” jawab Livia, suaranya terdengar semakin cemas. “Tapi kamu harus hati-hati, Bell. Aku khawatir kamu sedang terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa kita bayangkan.”
Bellva menghela napas panjang. Di pikirannya, bayangan visi-visi yang menghantuinya kembali muncul. Pria berpakaian jas abu-abu, suara berat yang bergema di kepalanya, dan simbol misterius yang terus menghantui. Semuanya terasa semakin nyata, seolah-olah sebuah benang merah yang menghubungkan kejadian-kejadian aneh itu mulai terjalin di depan matanya.
“Terima kasih, Liv. Aku akan hati-hati,” jawab Bellva akhirnya. Pikirannya sudah melaju jauh, mencoba mencari jawaban. Dia tahu, semakin dalam dia terlibat, semakin besar risiko yang harus dihadapinya.
Mobil Bellva berhenti tepat di depan apartemennya. Udara malam terasa dingin menusuk. Meskipun tubuhnya lelah, pikirannya masih terlalu sibuk memproses semua kejadian yang telah dia alami. Dia memandangi liontin dengan simbol oktagram yang kini tergeletak di kursi penumpang. Simbol itu seolah memiliki daya tarik tersendiri, memaksa Bellva untuk terus menatapnya.
"The Silent Shadows," gumam Bellva pelan, mengulang nama organisasi misterius yang disebut Livia. Rasanya seperti teka-teki yang mulai terkuak, tetapi setiap petunjuk baru malah membawa lebih banyak pertanyaan.
Dengan langkah berat, Bellva membawa liontin itu masuk ke apartemennya. Begitu pintu tertutup, suasana hening menyergap. Apartemennya terasa lebih dingin dari biasanya dan entah kenapa dia merasa seperti ada sesuatu yang mengawasinya. Perasaan itu membuat bulu kuduknya berdiri.
Dia meletakkan liontin di atas meja lalu mengambil laptopnya. Bellva mulai mengetik kata kunci 'The Silent Shadows' ke mesin pencari, berharap menemukan jawaban. Namun, seperti yang sudah dia duga, hasil pencarian hanya menunjukkan informasi samar. Tidak ada yang konkret, hanya spekulasi tentang organisasi rahasia yang beroperasi di bawah radar, terlibat dalam berbagai aktivitas aneh yang sulit dilacak.
Salah satu artikel menarik perhatiannya. Artikel itu menyebutkan bahwa simbol oktagram sering dikaitkan dengan ritual kuno dan kelompok-kelompok misterius yang percaya pada kekuatan energi tertentu. Bellva membaca dengan seksama, matanya terpaku pada kalimat yang berbunyi:
Simbol oktagram sering ditemukan di tempat-tempat yang dianggap sebagai portal atau gerbang menuju dimensi lain.