Bellva terbangun dengan kepala yang masih dipenuhi oleh rentetan peristiwa aneh yang terus menghantuinya. Matahari sudah cukup tinggi, tetapi sinar yang masuk melalui celah gorden apartemennya terasa muram, seolah-olah enggan membangunkan dunia yang masih terlelap dalam misteri. Di atas meja kerjanya, liontin dan sebuah buku tua bersampul kulit tampak tergeletak begitu saja.
Bellva menarik napas panjang, mencoba menenangkan kegelisahan yang terus menggantung di dadanya. Namun, suara berat yang terdengar tadi malam masih terngiang jelas di telinganya. “Waktumu hampir habis…” Suara itu tidak terasa seperti ancaman biasa, melainkan sebuah peringatan yang memaksanya untuk segera bertindak.
Bellva meraih liontin itu dengan tangan yang sedikit gemetar, memperhatikan ukirannya dengan lebih seksama. Bagian belakang liontin telah terbuka. Di dalamnya terdapat kunci kecil yang tampak lebih misterius daripada sebelumnya.
Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja, mengalihkan perhatiannya. Nama Livia muncul di layar, membuat jantung Bellva berdegup lebih cepat. Dia segera mengangkat panggilan itu.
“Halo, Liv,” sapanya sambil menyandarkan tubuh ke kursi, mencoba terdengar tenang.
“Bell, aku punya kabar penting,” kata Livia tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar serius, seperti seseorang yang membawa berita genting. “Ada seorang ahli simbol kuno yang mungkin bisa membantu kita. Namanya Profesor Wira, dia dosen sejarah dan arkeologi di universitas tempat aku dulu kuliah. Aku sudah mengatur janji temu untukmu siang ini.”
Bellva mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi itu. “Profesor Wira? Apakah dia tahu sesuatu tentang simbol ini?” tanyanya sambil melirik liontin di tangannya.
“Aku tidak yakin sejauh mana dia tahu, tapi dia adalah salah satu orang yang paling berkompeten dalam bidang ini. Jika ada yang bisa membantu, itu dia,” jawab Livia dengan penuh keyakinan.
“Baik, aku akan ke sana. Kirimkan alamatnya,” kata Bellva akhirnya, suaranya terdengar mantap. Dia tahu, ini adalah langkah berikutnya yang harus diambil, meskipun dia belum bisa memprediksi apa yang akan ditemuinya nanti. Di dalam benaknya, sebuah keyakinan mulai tumbuh bahwa semua ini sedang mengarah pada sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan.
***
Universitas itu terletak di pinggiran kota, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang menambah kesan sejuk. Bellva memarkir mobilnya di tempat yang sunyi lalu berjalan perlahan menuju salah satu gedung yang ada di sana. Meskipun suasana kampus yang tenang berhasil menenangkan hatinya sedikit, rasa penasaran yang menggelora tetap terasa membakar dalam dirinya.
Profesor Wira, pria paruh baya dengan rambut putih yang terpotong rapi, menyambut Bellva dengan senyuman ramah. Kacamata bulat yang dikenakannya memberikan kesan seperti tokoh dalam buku sejarah yang penuh misteri. Begitu Bellva memasuki ruangan, dia langsung disambut oleh Profesor Wira yang berdiri dari kursinya.
"Anda pasti Dokter Bellva. Livia telah memberi tahu saya mengenai situasi Anda. Silakan duduk," ujarnya sambil menunjuk kursi di depan meja kerjanya. Di atas meja tersebut terhampar beberapa buku tebal yang tampak sudah usang dimakan waktu.
“Terima kasih, Profesor. Saya membawa beberapa barang yang mungkin bisa Anda bantu jelaskan,” jawab Bellva sambil mengeluarkan liontin, kunci, dan sebuah buku tua dari tasnya.
Profesor Wira memeriksa liontin itu dengan teliti. Matanya menyala penuh minat saat melihat ukiran oktagram yang terpatri di permukaannya.
“Ini adalah simbol kuno,” ucapnya dengan nada serius. “Oktagram sering dikaitkan dengan energi kosmik dan gerbang dimensi. Namun, gambar yang ada di buku ini menarik perhatian saya lebih lagi. Polanya tidak biasa, seperti sebuah peta.”
“Peta?” Bellva mengulangi dengan rasa ingin tahu yang mendalam.