Bellva menghabiskan malam itu dengan gelisah. Bayangan dua pria berjas hitam dan perempuan yang mereka seret masih membayang di benaknya, menghantui setiap sudut pikirannya. Berulang kali dia membuka buku pemberian Profesor Wira berharap menemukan jawaban. Namun, simbol-simbol rumit dan tulisan Latin kuno di dalamnya hanya memperparah kebingungannya. Ketidakpastian ini menekan dirinya, menyadarkan bahwa dia tidak mungkin menghadapi semuanya sendirian.
Pagi datang dengan cahaya suram yang menyelinap melalui celah gorden apartemennya. Suara dering ponsel memecah kesunyian, membuat Bellva tersentak dari lamunannya. Nama Livia muncul di layar. Dengan cepat, dia menjawab panggilan itu, suaranya terdengar serak karena kurang tidur.
“Bell, aku punya kabar,” suara Livia terdengar tegang, bahkan sedikit terburu-buru. “Aku baru saja mendapat informasi dari salah satu kontak lamaku di kepolisian. Ada seorang detektif swasta yang mungkin bisa membantu kita. Namanya Baroza Grayson. Dia orangnya memang tidak biasa, tapi dia sangat jenius.”
Bellva mengernyit, menimbang informasi itu. “Detektif swasta? Apa yang membuatmu yakin dia bisa membantu kita?” tanyanya dengan nada skeptis.
“Dia pernah menangani kasus-kasus aneh yang berkaitan dengan simbol kuno. Kalau ada yang bisa memahami situasimu, itu dia. Aku sudah mengatur pertemuan dengannya sore ini. Percayalah, Bell. Kamu tidak bisa menghadapi semua ini sendirian.”
Bellva terdiam, memikirkan kata-kata Livia. Dia benci mengakui kelemahannya, tetapi Livia benar. Jalan yang sedang dia tempuh ini terlalu gelap dan berbahaya untuk dilalui seorang diri. Setelah menarik napas panjang, dia menjawab dengan suara mantap, meskipun hatinya masih penuh keraguan.
“Baiklah, kirimkan detailnya. Aku akan menemui dia.”
Livia menghela napas lega. “Terima kasih, Bell. Aku yakin ini langkah yang tepat.”
Bellva menutup telepon dan menatap liontin serta buku tua yang masih tergeletak di mejanya. Sekilas, dia melihat bayangannya sendiri di cermin di seberang ruangan. Matanya tampak lelah, tetapi sorot tekad perlahan muncul. Apa pun yang terjadi, dia harus menemukan kebenaran di balik semua ini.
***
Bellva tiba di sebuah kafe tempat pertemuan mereka diatur. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, bercampur dengan suara gemerisik kertas koran dan percakapan pelan di antara para pelanggan. Di sudut ruangan, seorang pria duduk sendirian dengan jas panjang hitam dan topi fedora yang sedikit miring menutupi sebagian wajahnya.
“Bellva,” pria itu menyapanya tanpa mengangkat pandangan. Suaranya rendah dan penuh wibawa.
Bellva mengangguk lalu duduk di kursi di depannya. “Baroza Grayson?”
Pria itu akhirnya menatapnya, memperlihatkan mata tajam yang memancarkan ketelitian luar biasa. “Livia sudah memberi tahu saya tentang situasi Anda. Simbol kuno, organisasi rahasia, dan sebuah kunci misterius. Sepertinya Anda sedang berada di tengah sesuatu yang besar.”
Bellva menghela napas. “Sejujurnya, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Saya menemukan liontin ini di tempat kejadian perkara lalu Profesor Wira mengatakan itu terkait dengan sesuatu yang disebut Pintu Cahaya. Tadi malam, saya melihat dua pria membunuh seorang perempuan di sebuah mall terbengkalai. Mereka juga membawa simbol yang sama dengan liontin ini.”
Baroza menyandarkan tubuhnya ke kursi, tampak mencerna informasi itu. “Anda menyebutkan Pintu Cahaya. Itu bukan sesuatu yang asing bagi saya. Saya juga pernah mendengarnya. Konon, itu menjadi penghubung antara dunia manusia dan sesuatu yang lebih gelap.”
Bellva merasakan bulu kuduknya meremang. “Jadi, pintu itu benar-benar ada?”