Deru mesin mobil menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara Baroza dan Bellva. Bellva terbaring lemah di kursi penumpang, wajahnya pucat pasi seperti lilin yang hampir padam. Napasnya terdengar tersengal-sengal. Setiap tarikan dan hembusan napasnya terasa berat. Baroza meliriknya beberapa kali, ekspresinya penuh kewaspadaan, memastikan perempuan itu tetap bertahan meskipun kondisinya jauh dari baik.
Perjalanan singkat yang biasanya terasa sekejap kini seperti membentang tidak berujung. Ketika akhirnya mobil berhenti di depan kantornya, Baroza segera turun. Tanpa membuang waktu, dia membuka pintu penumpang dan dengan hati-hati mengangkat tubuh Bellva. "Bertahanlah, Bell," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bellva.
Setibanya di dalam kantor, Baroza merebahkan Bellva di sofa panjang yang terletak di ruang tengah. Baroza menarik napas panjang, mencoba meredakan rasa cemas yang terus mengintai pikirannya. Dia duduk di kursi di samping sofa, memperhatikan Bellva yang masih terbaring dengan napas tersengal.
Tangan Baroza dengan lembut mengupas jari-jari Bellva yang menggenggam liontin erat, seakan benda itu adalah tali terakhir yang menghubungkannya dengan dunia nyata. Ketika akhirnya liontin itu terlepas dari tangan Bellva, Baroza merasakan sesuatu yang ganjil. Kulit Bellva terasa hangat, kontras dengan liontin yang begitu dingin seperti bongkahan es. Kontradiksi itu membuat Baroza mengerutkan kening.
Dia memegang liontin tersebut dengan kedua tangan, memperhatikan ukiran oktagram yang terlihat lebih mencolok di bawah cahaya lampu ruangan. Ada sesuatu yang aneh. Garis-garis pada ukiran itu tampak bersinar samar, seperti aliran energi yang berdenyut pelan di bawah permukaannya. "Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik benda ini?" gumam Baroza, jemarinya menyusuri ukiran tersebut dengan hati-hati.
Tiba-tiba liontin itu bereaksi. Sebuah kilatan cahaya muncul dari pusat oktagram, diiringi dengan dengungan rendah yang semakin lama semakin menusuk telinga. Baroza tersentak kaget dan segera melepaskan liontin itu. Liontin jatuh ke lantai. Cahaya yang keluar dari liontin semakin terang, sementara dengungan itu menjadi lebih intens hingga terasa menusuk kepala.
"Bellva!" Baroza menoleh cepat saat Bellva tiba-tiba terbangun dengan teriakan kecil. Gadis itu langsung terduduk, matanya membelalak, terpaku pada liontin yang kini tampak seperti makhluk hidup di tengah ruangan. Cahaya dan suara yang dikeluarkan oleh benda itu memantul di dinding, menciptakan bayangan yang tampak seperti menari dalam irama yang menakutkan.
"Apa yang terjadi?" tanya Bellva, suaranya serak dan gemetar.
"Liontin ini bereaksi," jawab Baroza tanpa melepas pandangannya dari liontin yang masih mengeluarkan cahaya berdenyut. Dia menoleh ke Bellva, mencoba mencari jawaban dari sorot matanya. "Apa yang kamu rasakan saat menggenggamnya tadi? Ada sesuatu yang berbeda, kan?"
Bellva memegangi kepalanya yang masih terasa berat, mencoba mengumpulkan ingatannya yang tercecer. "Aku... aku merasa seperti ditarik ke sebuah tempat," ucapnya pelan, hampir berbisik. Matanya menatap kosong ke arah liontin itu. "Sebuah pintu yang terang. Seolah-olah ada sesuatu di baliknya yang mencoba berbicara padaku. Tapi aku tidak bisa memahami apa yang mereka katakan. Itu seperti bisikan, tapi juga seperti jeritan."
Baroza memejamkan mata sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dengar. Pintu terang? Bisikan dan jeritan? Apa liontin ini bukan hanya benda biasa? Perlahan, dia berdiri dan menatap liontin itu dari kejauhan, seolah-olah benda itu bisa meledak kapan saja.
"Liontin ini tidak hanya menjadi kunci," katanya pelan. "Ini juga merupakan portal penghubung antara dunia kita dengan sesuatu yang lain." Dia berbalik menatap Bellva, ekspresinya serius.
Baroza menatap Bellva dengan tajam, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri sebelum mengucapkan sesuatu yang berat. "Bell," katanya perlahan, nada suaranya serius. "Aku rasa kamu harus masuk ke pintu terang itu."
Bellva sontak menatapnya dengan mata membelalak. "Apa? Kamu gila?" ujarnya, suaranya naik satu oktaf, mencerminkan kepanikan yang mulai menyelimuti dirinya. "Aku bahkan tidak tahu apa yang ada di balik pintu itu! Itu bisa saja sesuatu yang berbahaya!"
"Aku tahu ini menakutkan," balas Baroza, berusaha terdengar setenang mungkin meski dadanya sendiri terasa sesak. "Tapi liontin ini bereaksi padamu. Itu artinya kamu adalah kunci. Aku tidak bisa memasukinya dan tanpa itu kita tidak akan pernah tahu apa yang sedang kita hadapi. Bisa jadi ini satu-satunya cara untuk menghentikan sesuatu yang lebih buruk."
Bellva menggeleng cepat, tubuhnya bergidik mengingat sensasi menakutkan yang tadi dirasakannya. "Aku tidak sanggup. Rasanya seperti ada sesuatu yang menunggu di sana, sesuatu yang gelap dan berbahaya, Za. Aku tidak ingin masuk ke tempat itu!"
Baroza menghela napas panjang, menyadari ketakutan Bellva yang nyata. Dia berjalan mendekat, duduk di sampingnya, dan menepuk pundaknya dengan lembut. "Aku mengerti, Bell. Aku tidak akan memaksamu malam ini. Kamu sudah melalui banyak hal. Kita tidak akan mengambil risiko tanpa rencana yang matang."