Setelah setengah jam berlalu, mobil yang dikendarai Baroza meluncur perlahan di jalanan kota yang mulai ramai dengan aktivitas pagi. Di sampingnya, Bellva bersandar malas di kursi penumpang, berusaha menikmati perjalanan sambil menghabiskan sisa sandwich yang tadi dia bawa dari rumah.
"Aku masih nggak habis pikir kamu benar-benar membawa peta penuh coretan, kayak pemburu harta karun di film-film," komentar Bellva dengan nada setengah mencemooh, matanya melirik peta yang terlipat di dashboard. "Ini kebiasaan lama atau gaya hidup aneh yang baru-baru ini kamu lakukan?"
Baroza tersenyum kecil. Dia menghela napas seolah mengingat sesuatu yang jauh di masa lalu. "Kalau aku bilang ini kebiasaan yang dimulai sejak kasus pertama yang melibatkan benda-benda aneh, kamu bakal percaya?"
Bellva mengernyit, menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Benda-benda aneh? Maksudmu seperti liontin itu?" tanyanya, suaranya terdengar lebih serius dari sebelumnya.
Sekilas, Baroza meliriknya dengan ekspresi yang sulit diartikan lalu mengangguk pelan. "Liontin itu cuma satu dari sekian banyak benda yang punya cerita gelap di baliknya. Entah kenapa, benda-benda itu selalu membawa masalah-masalah besar. Aku yakin kasus yang kita hadapi sekarang punya kaitan erat dengannya."
Bellva terdiam sejenak, merasakan hawa yang tiba-tiba terasa lebih berat di dalam mobil. Dia menggigit bibir bawahnya, seperti menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh, tetapi akhirnya tidak bisa menahan rasa penasaran. "Jadi, menurutmu liontin itu ada hubungannya dengan kematian dua pria itu?"
Wajah Baroza berubah serius. "Bukan cuma ada hubungannya. Aku pikir liontin itu adalah penyebabnya."
Pernyataan itu membuat Bellva terpaku. Ada sesuatu dalam nada suara Baroza yang membuatnya yakin ini bukan sekadar spekulasi liar. Namun, dia tidak tahu harus merespons seperti apa. Sambil berpikir, matanya kembali mengarah ke luar jendela, menatap lalu lintas kota yang mulai bergerak lambat. Di balik ekspresi tenangnya, pikirannya penuh dengan pertanyaan. ‘Apa sebenarnya yang sedang aku hadapi?’ pikirnya.
Mereka akhirnya tiba di depan sebuah rumah kecil yang tampak lusuh, nyaris seperti terlupakan oleh waktu. Dindingnya dipenuhi lumut tebal, beberapa bagian catnya mengelupas, menambah kesan usang yang tak terbantahkan. Pintu masuk rumah itu hampir tersembunyi di balik tanaman merambat yang tumbuh liar. Baroza memarkir mobilnya tepat di depan pintu itu lalu mematikan mesin.
"Ini tempatnya," ucap Baroza sambil turun dari mobil.
Bellva melangkah keluar dengan ragu, matanya menyisir rumah tersebut dari atas hingga bawah. "Kamu yakin ini bukan lokasi syuting film horor?" tanyanya dengan nada setengah bercanda, mencoba mengusir kegelisahan yang mulai menyelinap di hatinya.
Baroza tertawa pendek. "Kalau itu benar, aku harap kita bukan karakter yang mati duluan setelah meninggalkan tempat ini."
Bellva mendengus kecil, seolah menertawakan lelucon itu, tetapi senyum yang muncul di wajahnya tidak bertahan lama. Meski Baroza berusaha mencairkan suasana, rumah itu tetap memberikan aura tidak bersahabat yang sulit diabaikan. Udara dingin yang berembus pelan seolah membawa firasat buruk, membuat perasaan tidak nyaman terus menyelimuti dirinya.
Dia memandang ke arah jendela yang kaca-kacanya buram dan dipenuhi debu, mencoba mengintip ke dalam. Bayangan samar yang terlihat justru membuatnya semakin gelisah. "Siapa orang yang berani tinggal di tempat seperti ini?" gumam Bellva pada dirinya sendiri, nyaris tidak terdengar oleh Baroza.
"Jangan terlalu banyak berpikir, Bell," ujar Baroza sambil mengunci mobil. "Tempat ini memang tidak nyaman, tapi kadang jawaban yang kita cari justru ada di tempat yang paling tidak kita inginkan."
Bellva meliriknya dengan ekspresi skeptis. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengikuti langkah Baroza menuju pintu rumah yang nyaris tertutup oleh tanaman liar, berusaha menenangkan debaran di dadanya yang entah kenapa terasa semakin keras.
Saat mereka masuk, suasana rumah itu lebih menyeramkan daripada yang Bellva bayangkan. Udara di dalamnya lembap, dengan bau kayu lapuk dan debu yang menyengat. Cahaya matahari hanya menembus melalui celah-celah kecil di antara jendela yang ditutupi tirai tebal, menciptakan nuansa temaram yang membuat ruangan tampak seperti keluar dari mimpi buruk.