Udara siang yang mulai menghangat sedikit membantu mengusir ketegangan yang menggantung di antara Bellva dan Baroza. Mereka memilih duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang cukup tenang untuk berbicara tanpa takut percakapan mereka didengar oleh orang lain. Kafe itu memiliki suasana klasik dengan dinding bata merah dan lampu gantung redup yang memberikan kesan nyaman. Sayangnya, suasana itu tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang masih menggelayuti pikiran Bellva.
Dia menatap kosong ke arah cangkir kopinya yang sudah setengah dingin, sesekali mengaduknya tanpa maksud jelas. Pikirannya masih terjebak pada percakapan dengan Pak Gideon. Sementara itu, di seberangnya, Baroza sibuk membolak-balik catatan kecilnya, mencoba menyusun kembali potongan-potongan informasi yang mereka dapatkan dari pria tua itu.
Suara denting sendok di pinggiran cangkir mengisi keheningan di antara mereka hingga akhirnya Baroza memutuskan untuk berbicara lebih dulu.
"Kamu masih kepikiran ucapan Pak Gideon?" tanyanya, tatapan matanya tertuju pada Bellva yang terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Bellva menghela napas panjang sebelum menjawab, suaranya terdengar lirih. "Menurutmu, bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?" Dia mengangkat wajahnya, menatap Baroza dengan mata yang dipenuhi kebingungan dan kegelisahan. "Dia bilang darah musuh itu juga mengalir dalam tubuhku. Itu bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja."
Baroza menyandarkan punggungnya pada kursi dan mengusap wajahnya sejenak. "Aku tahu ini berat buatmu, Bell, tapi kita harus tetap berpikir jernih. Kita belum tahu sepenuhnya apa maksudnya. Mungkin kita akan mendapat jawaban lebih jelas setelah bertemu dengan Elena."
Bellva mengernyitkan dahi, merasa nama itu asing di telinganya. “Kenapa harus Elena?"
"Dia seorang jurnalis investigasi yang sudah bertahun-tahun meneliti kasus-kasus yang berkaitan dengan benda mistis dan organisasi rahasia yang mungkin berhubungan dengan liontin itu," jelas Baroza, menutup bukunya dengan gerakan mantap. "Kalau ada seseorang yang bisa membantu kita memahami lebih jauh tentang liontin ini, orangnya adalah dia."
Bellva masih tampak ragu, tetapi kata-kata Baroza terdengar masuk akal. Jika Elena memang memiliki informasi tentang benda-benda semacam itu, maka bertemu dengannya adalah langkah yang harus mereka ambil.
"Baiklah," kata Bellva akhirnya, meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya. "Di mana kita bisa menemukannya?"
"Dia setuju untuk bertemu di kantornya. Tidak jauh dari sini," jawab Baroza sambil melirik arlojinya. "Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa tiba tepat waktu."
Bellva menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang masih berkecamuk. Dia tahu, semakin jauh mereka melangkah, semakin banyak rahasia yang akan terungkap. Dia tidak yakin apakah dirinya siap untuk itu. Namun, satu hal yang pasti, tidak ada jalan untuk kembali. Dia harus menghadapi kenyataan, seberapa pun pahitnya itu.
"Ayo," kata Bellva akhirnya, berdiri dari tempat duduknya. Baroza mengangguk lalu mengambil buku catatannya sebelum ikut bangkit.
Dengan langkah yang mantap, mereka meninggalkan kafe itu, menuju babak baru dari perjalanan yang semakin gelap dan penuh misteri.
Tanpa banyak bicara, Bellva dan Baroza segera membayar minuman mereka dan melangkah keluar dari kafe menuju kantor Elena. Jalanan kota masih dipenuhi kendaraan yang melaju dengan ritme tergesa, tetapi pikiran Bellva terasa jauh lebih bising dibandingkan kebisingan lalu lintas di sekelilingnya.
Kantor Elena terletak di dalam sebuah bangunan berlantai dua yang terlihat kontras dengan gedung-gedung modern di sekitarnya. Plakat besi kecil yang bertuliskan The Investigative Journal tergantung di samping pintu kayu dengan huruf-huruf yang mulai pudar dimakan waktu. Bangunan itu tampak tidak terlalu terawat, tetapi ada aura keteguhan yang tidak bisa diabaikan.
Saat mereka memasuki kantor, suara derit pintu tua menyambut, disusul dengan aroma khas kertas lama dan tinta yang menguar di udara. Ruangan itu penuh dengan tumpukan dokumen, papan gabus yang dipenuhi artikel koran yang ditempel dengan pin warna-warni, serta peta besar yang terpaku di dinding dengan berbagai coretan dan garis merah yang tampaknya menandakan koneksi antar kasus.
Di balik meja kayu besar yang dipenuhi berkas-berkas berserakan, seorang wanita dengan rambut gelap yang diikat asal-asalan menunduk sambil mengetik cepat di laptopnya. Lengan kemeja putihnya tergulung hingga siku dan secangkir kopi yang tampaknya sudah dingin tergeletak di dekatnya. Saat menyadari kehadiran tamu, wanita itu mendongak dengan tatapan tajam, matanya dipenuhi kewaspadaan yang terlatih.
“Elena Asher?” tanya Bellva memastikan.
Wanita itu menyipitkan mata sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baroza.” Suaranya rendah, sedikit serak, seolah terlalu sering digunakan untuk menginterogasi orang. “Akhirnya kamu datang juga.”
Baroza tersenyum kecil lalu tanpa basa-basi berkata, “Kami butuh bantuanmu.”
Elena mengangkat satu alis, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangan terlipat di dada. “Aku sudah membaca tentang kasus yang kalian maksud. Dua pria tewas dalam kondisi misterius.” Dia menghela napas dan menatap Bellva. “Kudengar kalian menemukan liontin aneh di tempat kejadian?”
Bellva menatap Baroza sejenak sebelum mengeluarkan liontin dari kantongnya dan meletakkannya di atas meja kayu. Cahaya lampu redup di ruangan itu membuat permukaan liontin berkilau samar, menampilkan simbol lingkaran dengan oktagram di tengahnya.