Ruangan itu masih sunyi, hanya suara jam dinding tua yang berdetak perlahan, seakan menghitung detik sebelum sesuatu yang lebih besar terjadi. Udara menjadi terasa berat. Bellva menatap liontin yang tergeletak di atas meja kayu itu, pikirannya berkecamuk. Kata-kata Elena masih menggema di benaknya.
"Bukan terjebak. Kamu bagian darinya."
Bellva menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya. Dia menatap Elena yang masih mempelajari foto di hadapannya. Baroza yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara, nada suaranya lebih tegas dari sebelumnya.
"Kalau benar Bellva adalah bagian dari semua ini, apa langkah kita selanjutnya? Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Elena menegakkan tubuhnya, tangannya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme teratur. Matanya yang tajam menunjukkan bahwa pikirannya tengah bekerja cepat. “Ada beberapa hal yang harus kita pastikan lebih dulu,” ujarnya sambil melirik Bellva. “Kamu bilang liontin ini ditemukan di TKP. Apakah ada tanda-tanda lain yang bisa menghubungkannya dengan kasus ini?”
Bellva menggeleng, masih berusaha menyusun jawabannya. “Tidak ada yang spesifik. Pak Gideon bilang liontin ini adalah kunci. Aku tidak tahu maksudnya apa.”
Elena menghela napas panjang, seakan mencoba merangkai pikirannya sebelum berbicara. Dengan gerakan hati-hati, dia meraih kembali buku tua yang tadi terbuka di hadapannya. Jemarinya menyusuri lembaran-lembaran yang mulai rapuh, matanya menelusuri teks yang sudah memudar seiring waktu. Setiap halaman yang dia balik menimbulkan suara gemerisik pelan, menambah kesan kuno dan misterius pada suasana yang sudah cukup tegang.
Hingga akhirnya, Elena berhenti di satu bagian. Sebuah ilustrasi tergambar di sana. Garis-garis kasar yang membentuk simbol yang sangat mirip dengan ukiran di liontin yang ditemukan Bellva. Dia menatapnya lama, keningnya berkerut dalam perenungan, sebelum bergumam pelan, nyaris tidak terdengar.
“Identitas yang mengikat…”
Baroza yang sejak tadi mengamati dengan tangan bersedekap, menyipitkan mata curiga. “Elena?” panggilnya. “Kamu menemukan sesuatu?”
Elena tidak langsung menjawab. Jemarinya menelusuri bentuk simbol di atas kertas tua itu, seakan mencoba memahami makna yang tersembunyi di baliknya. Akhirnya, dia mengangguk pelan.
“Simbol ini…” dia menarik napas lalu melanjutkan dengan suara yang lebih tegas, “ini merupakan segel.”
Bellva yang sejak tadi berusaha memahami arah pembicaraan, merasakan bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu dalam nada suara Elena yang membuatnya gelisah.
“Segel untuk apa?” tanyanya hati-hati.
Elena mengangkat pandangannya, menatap Bellva tajam. Ada keseriusan di matanya, sesuatu yang membuat udara di ruangan terasa lebih berat.
“Segel yang mengikat sesuatu,” jawabnya pelan, sebelum menambahkan dengan lebih lirih, “atau seseorang.”
Ruangan mendadak terasa lebih dingin. Bayangan dari cahaya lampu bergetar pelan di dinding, seakan ikut merasakan ketegangan yang perlahan menyelimuti mereka.
Baroza menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya setengah skeptis, setengah penasaran. “Kamu bicara seolah ini semacam kutukan,” ujarnya, mencoba menganalisis.
Elena tidak segera menjawab. Dia menutup bukunya perlahan lalu menyilangkan tangan di dada. Sepertinya, dia sedang mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati.
“Bukan kutukan,” koreksinya akhirnya. “Tapi dalam kepercayaan lama, benda-benda seperti ini tidak pernah ada tanpa tujuan. Mereka yang memilikinya, entah mereka sadar atau tidak, memiliki peran dalam sesuatu yang lebih besar.”
Bellva menelan ludah, rasa tidak nyaman mulai menjalar di tubuhnya.
“Peran seperti apa?” tanyanya, meskipun bagian dari dirinya tidak yakin ingin mendengar jawabannya.
Elena menghela napas, tatapannya masih terpaku pada liontin di atas meja. “Entah sebagai pelindung,” katanya pelan. “Atau…” dia menggantungkan kalimatnya sejenak, membiarkan ketegangan menggantung di udara, “…sebagai pengorbanan.”
Hening.
Bellva merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Ruangan yang tadinya hanya terasa sunyi, kini terasa lebih sempit, lebih menyesakkan.
“Pengorbanan?” ulangnya nyaris berbisik.
Elena tidak langsung menjawab. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju papan besar di sudut ruangan. Papan itu penuh dengan foto-foto, catatan tangan, serta peta yang dipenuhi garis-garis merah yang saling bersilangan. Seperti benang kusut yang menunggu untuk diuraikan.
Dengan ujung jarinya, Elena menyusuri berbagai potongan informasi yang tertempel di sana. Beberapa kertas sudah menguning, beberapa foto tampak buram oleh waktu. Dia berhenti di satu sudut, menatap sesuatu selama beberapa detik sebelum akhirnya menarik sebuah foto dari papan itu.
Dia berbalik lalu menyerahkannya pada Bellva.
Bellva mengambilnya dengan ragu, kemudian menatap gambar yang tercetak di atasnya. Itu adalah foto hitam-putih yang sedikit pudar, memperlihatkan seorang pria berjas gelap dengan ekspresi kaku dan sorot mata tajam. Ada sesuatu tentang pria itu. Sesuatu yang terasa hampir familiar, tetapi Bellva tidak bisa langsung menempatkannya.
“Siapa ini?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Elena melipat tangan di dadanya, ekspresinya sulit dibaca. “Nathaniel Sinclair.”
Bellva terdiam, nama itu bergema di kepalanya seperti dengung samar yang nyaris tidak bisa dia tangkap.
“Sinclair?” ulangnya pelan, seolah mencoba memastikan dia tidak salah dengar.