Ketegangan di dalam ruangan itu semakin mencekam, seakan setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat pada sebuah kebenaran yang belum sepenuhnya terungkap. Semua mata tertuju pada Gideon yang baru saja mengungkapkan sebuah kenyataan yang mengguncang dunia Bellva. Dia baru saja mengetahui bahwa warisan besar yang tersembunyi di balik liontin itu terkait dengan keluarganya. Namun, sebelum Bellva sempat menyusun kata-kata, suara ponsel yang tiba-tiba berdering memecah kesunyian, mengingatkan mereka bahwa dunia di luar ruangan ini tidak berhenti berputar.
Bellva cepat merogoh saku celananya, menarik ponselnya keluar dan melihat nama yang muncul di layar. Arman. Tanpa ragu, dia menekan tombol terima dan mendekatkan ponsel ke telinganya. Suara Arman terdengar terburu-buru, seperti ada sesuatu yang mendesak di balik setiap kata yang diucapkannya.
"Bell, ada seseorang yang mengaku sebagai keluarga dari salah satu pria yang kamu autopsi beberapa waktu lalu. Dia ingin bertemu segera," kata Arman dengan suara yang terdengar tegang.
Bellva menyelipkan ponsel itu sedikit lebih jauh, mencoba untuk menyembunyikan kegelisahannya yang tiba-tiba muncul. "Siapa dia?" tanyanya, meskipun ada rasa tidak nyaman yang merayapi dadanya.
Arman menjawab cepat, "Dia mengaku anaknya, tapi aku belum bisa memastikan siapa dia sebenarnya. Bisa segera ke rumah sakit? Aku butuh bantuanmu untuk mengkonfirmasi ini."
Bellva menatap Gideon yang masih berdiri dengan wajah serius, seolah menunggu tindak lanjut dari pembicaraan yang baru saja terjadi. Perasaan cemas dan penasaran membelai pikirannya, tetapi instingnya memberi tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Segera dia menoleh ke Baroza yang tampaknya masih terperangkap dalam kejutan yang datang setelah mendengar nama Nathaniel Sinclair.
"Baroza," kata Bellva dengan suara rendah, menarik perhatian temannya. "Kita harus ke rumah sakit sekarang. Ada seseorang yang mengaku keluarga dari pria yang aku autopsi. Kita perlu memastikan siapa dia."
Baroza mengangguk pelan. Ekspresinya masih dipenuhi kebingungan. Wajahnya yang semula hanya menunjukkan keterkejutan kini mulai dipenuhi kerutan dalam. Pertanda pikirannya tengah bekerja keras, mencoba merangkai semua informasi yang baru saja mereka terima. Gideon tetap berdiri di tempatnya, diam dan hanya menatap mereka dengan ekspresi sulit ditebak, seakan memahami bahwa ini adalah langkah yang harus diambil, meskipun dia sendiri enggan terlibat lebih jauh.
Tanpa membuang waktu, Bellva menarik napas panjang, kemudian menoleh pada Baroza. "Ayo," ujarnya singkat.
Baroza tidak menjawab, tetapi tatapannya menunjukkan bahwa dia setuju. Keduanya segera beranjak menuju pintu, langkah mereka cepat dan penuh ketegangan. Tidak ada percakapan lebih lanjut di sepanjang perjalanan menuju mobil yang sudah menunggu. Hanya ada kesunyian yang semakin mempertebal perasaan mencekam di antara mereka.
Begitu tiba di rumah sakit, suasana di dalam ruang tunggu terasa berat. Udara di ruangan itu seakan dipenuhi ketidakpastian dan kecemasan yang menggantung. Arman sudah berdiri di dekat pintu, menunggu mereka dengan wajah serius. Matanya menatap langsung ke arah Bellva dan Baroza begitu mereka masuk.
Di salah satu sudut ruangan, seorang perempuan muda, mungkin berusia sekitar dua puluh tahun, duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Jemarinya saling meremas di atas pangkuannya, menunjukkan kegelisahan yang jelas terlihat dari ekspresi wajahnya. Matanya berkaca-kaca, seolah menahan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Bellva melirik Arman sebelum akhirnya bertanya dengan nada datar, "Dia orangnya?"
Arman mengangguk. "Dia bilang namanya Sabrina Grayson. Mengaku sebagai anak dari salah satu pria yang kamu autopsi. Pria yang ditemukan di galeri seni tua."
Baroza yang sedari tadi diam, tiba-tiba mengangkat kepalanya dengan cepat. Dia menatap perempuan itu dengan penuh kecurigaan lalu mengerutkan keningnya. "Grayson?" ulangnya, seakan nama itu baru saja menghantamnya seperti gelombang besar.
Sabrina yang sejak tadi hanya duduk diam, akhirnya berdiri. Langkahnya cepat, mendekati mereka dengan ekspresi penuh kecemasan. "Saya Sabrina Grayson," katanya dengan suara gemetar. "Saya datang untuk mengidentifikasi jenazah papa saya, Eryan Grayson. Dia satu-satunya keluarga yang saya miliki."
Wajah Baroza seketika menegang. Dia menatap Sabrina dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. Campuran antara keterkejutan, kebingungan, dan kemarahan. Bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya dia berhasil mengeluarkan suara.
"Grayson?" ulangnya sekali lagi, kali ini lebih pelan. "Apa kamu yakin? Aku tidak pernah tahu sebelumnya. Kamu ini siapa?"
Sabrina menatapnya lurus-lurus. "Aku anak Eryan Grayson," ulangnya dengan nada penuh tekanan.
Baroza tertawa sinis, kepalanya sedikit menunduk sebelum dia kembali menatap Sabrina dengan tajam. "Kamu bilang kamu anaknya?" tanyanya, nada suaranya naik. "Lucu sekali. Karena aku juga anaknya."
Sabrina terkejut. "Apa?"