Hujan turun deras, membasahi tanah yang telah lama merindukan air. Butiran hujan menghantam payung-payung hitam yang berjejer di sekitar liang lahat, mengiringi iring-iringan mobil jenazah yang perlahan memasuki area pemakaman. Langit tampak kelabu, seolah turut berduka atas kepergian Eryan Grayson. Tanah basah beraroma khas, bercampur dengan wangi bunga yang mulai layu di tangan para pelayat.
Di antara mereka yang hadir, hanya ada tiga sosok yang tetap berdiri di tempat tanpa banyak bicara—Baroza, Bellva, dan Sabrina. Mereka memandangi prosesi pemakaman dengan tatapan kosong, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak ada isak tangis yang terdengar, hanya suara hujan dan lantunan doa dari pendeta yang memimpin upacara.
Sebelumnya, Baroza telah mengurus segala keperluan pemakaman dengan menghubungi pihak pengelola. Dia memilih tempat yang tenang, dikelilingi pepohonan rindang yang meneduhkan, jauh dari keramaian. Dengan bantuan pihak rumah sakit, jenazah Eryan akhirnya dimakamkan dengan layak. Tidak ada upacara besar, hanya prosesi sederhana yang menyisakan kehampaan.
Saat peti perlahan diturunkan ke dalam liang lahat, Sabrina menundukkan kepala. Jemarinya menggenggam lengan bajunya sendiri, menahan getaran yang mulai merambat dari tubuhnya. Bibirnya dia gigit kuat-kuat, berusaha menahan sesuatu yang sejak tadi ingin pecah. Di sampingnya, Bellva hanya menghela napas panjang. Sementara itu, Baroza tetap menatap lurus, ekspresinya sulit ditebak.
Tanah mulai ditumpahkan ke atas peti, menciptakan suara tumpukan lembap yang menusuk telinga. Sabrina mengepalkan tangannya. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin meneriakkan sesuatu, tetapi suaranya seakan tertahan di tenggorokan. Akhirnya, dia hanya menghela napas panjang dan melangkah mundur.
Beberapa menit setelah prosesi selesai, mereka bertiga masih berdiri di sana. Angin membawa dingin yang menusuk, menciptakan keheningan yang lebih mencekam. Akhirnya, Sabrina membuka suara, pelan dan nyaris tenggelam dalam suara hujan.
"Aku ingin pulang dulu. Terima kasih sudah mengizinkan aku ikut di sini," katanya tanpa menoleh.
Baroza mengangguk singkat. "Hati-hati di jalan."
Bellva menoleh sekilas ke arah Sabrina sebelum kembali menatap nisan yang baru saja berdiri tegak di hadapannya. Tatapannya kosong, pikirannya masih sibuk mencerna segala sesuatu yang baru saja terjadi.
Sabrina menghela napas sekali lagi sebelum melangkah pergi. Hujan deras terus mengguyur, membiarkan rintik-rintik air menghapus jejak langkahnya di tanah yang becek. Baju hitam yang dia kenakan perlahan mulai basah, tetapi dia tidak peduli. Langkahnya mantap, meskipun hatinya masih terasa berat.
Sementara itu, Baroza dan Bellva masih berdiri di bawah langit kelabu, membiarkan air hujan membasahi tubuh mereka. Beberapa saat berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke mobil yang diparkir tidak jauh dari sana. Mereka berlari, menghindari genangan air, dan segera masuk ke dalam kendaraan.
Begitu duduk di kursi pengemudi, Baroza menghela napas berat. Dia menyalakan mesin mobil, tetapi tidak langsung melajukannya. Matanya menatap lurus ke depan. Pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam pusaran pertanyaan yang belum terjawab.
“Liontin itu…” gumam Baroza tiba-tiba. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara derasnya hujan yang menghantam kaca mobil.
Bellva yang tengah mengeringkan rambutnya dengan saputangan kecil menoleh ke arah Baroza. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan kening berkerut.
Baroza menggenggam setir dengan erat, seolah berusaha mencari pegangan atas segala yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. “Kamu menemukan liontin itu di mana?” tanyanya dengan nada yang lebih serius.
Bellva menghela napas, mencoba mengingat kembali peristiwa itu dengan jelas. “Aku menemukannya di galeri seni tua. TKP penemuan jenazah papamu,” jawabnya pelan. “Itu tergeletak di lantai. Awalnya aku ragu, tapi entah kenapa aku merasa harus mengambilnya.”
Baroza menatapnya dengan mata tajam. “Kalau benar liontin itu diberikan kepada setiap pewarisnya, seperti yang dikatakan Pak Gideon. Berarti itu seharusnya milikku, kan? Atau milik Sabrina?”
Keheningan kembali mengisi kabin mobil. Bellva menatap Baroza dengan ekspresi serius, mencerna kata-kata itu dalam pikirannya. “Bisa jadi,” gumamnya akhirnya. “Kalau begitu, kita harus mencari tahu lebih lanjut.”
Baroza mengangguk pelan lalu mengencangkan genggaman tangannya pada setir. “Kita perlu ke rumahku. Ada sesuatu yang harus kita pastikan.”
Bellva tidak membantah. Tanpa membuang waktu lagi, Baroza segera melajukan mobilnya menembus hujan yang semakin deras. Jalanan basah dan licin, tetapi dia tidak memperlambat lajunya. Justru, semakin dia mendekati rumahnya, semakin cepat dia mengemudi, seolah ingin segera mengungkap misteri yang selama ini tersembunyi di balik liontin itu.
Saat mereka melewati sebuah jembatan, tiba-tiba laju mobil melambat. Baroza mengerutkan kening dan menekan pedal rem secara perlahan. Di depan mereka, barisan panjang kendaraan tampak tidak bergerak, seperti ular besi yang terjebak di tempat. Hujan masih mengguyur deras, menciptakan genangan air yang mengalir di sepanjang jalan, semakin memperburuk keadaan.
Baroza mengetuk setir dengan tidak sabar, matanya menyapu pemandangan di depan mereka. "Macet total. Apa lagi sekarang?" gumamnya frustrasi.