Hujan masih turun dengan derasnya, membawa angin dingin yang menusuk hingga ke tulang. Baroza, Bellva, dan Elena duduk di ruang kantor yang semakin terasa sesak, terperangkap dalam ketegangan yang semakin tebal. Suasana semakin mencekam dengan kilatan cahaya petir yang sesekali menyinari ruangan. Bellva memegang ponsel dengan tangan yang sedikit gemetar. Matanya terfokus pada layar yang menunjukkan nama Livia. Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi, tetapi tidak ada jawaban.
“Kenapa dia tidak menjawab?” gumam Bellva pelan, suaranya penuh keraguan, seolah berharap Livia akan muncul dalam panggilan berikutnya.
Elena duduk di sebelahnya, memperhatikan tanpa mengucapkan kata-kata. Rasa cemas yang mulai tampak jelas di wajah Bellva tidak terlewat dari perhatian Elena. Biasanya Bellva yang tenang dan terkendali, kini tampak tidak sabar, matanya bergerak-gerak mencari jawaban pada layar ponselnya. Elena memutuskan untuk mencoba menenangkan suasana, meskipun hatinya sendiri diliputi kecemasan.
“Mungkin Livia sedang sibuk, Bell.” Elena mencoba bersikap tenang.
Bellva menggelengkan kepala, matanya tetap terfokus pada layar ponselnya. “Aku tidak tahu, El. Sudah beberapa hari dia tidak pernah menghubungiku. Biasanya dia yang selalu memberiku kabar. Selalu ada informasi yang ingin dia ceritakan. Dia juga sering memperingatiku tentang sesuatu. Tapi sekarang? Nih, aku kirim pesan suara pun tidak ada balasan, bahkan tidak sampai ke Livia,” ujar Bellva dengan nada yang semakin rendah, rasa gelisah yang sulit disembunyikan.
Baroza yang duduk di sisi mereka mengamati, meskipun dia tampak lebih tenang, kecemasan juga mulai tampak di matanya. "Jangan panik dulu, Bell. Mungkin ini cuma masalah sinyal. Aku paham kalau kamu khawatir."
Bellva menghela napas panjang dan meletakkan ponsel di atas meja dengan sedikit kasar, menghadap ke Elena. “Kenapa bisa begini? Ini bukan cuma masalah dia tidak menjawab telepon. Livia tidak pernah seperti ini. Selalu ada kabar, selalu ada alasan kenapa dia hilang-hilang. Aku bahkan tidak tahu dia ada di mana sekarang.”
Elena menatap Bellva lalu menggenggam tangan Bellva sejenak, memberikan sedikit kenyamanan. “Aku mengerti, Bell. Kalau memang ada yang salah, kita harus cari tahu. Tapi untuk sekarang, kita tidak bisa berbuat banyak. Yang kita bisa lakukan adalah tetap tenang dan cari tahu lebih lanjut.”
Bellva menatap Elena sejenak. Dia tampak ragu. Namun, dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Livia yang hilang kontak mendalam membuatnya merasa terperangkap dalam ketidakpastian yang mengganggu.
“Dua hari ini aku bahkan tidak dapat kabar apa-apa. Ponselnya pun tidak aktif, pesanku tidak terkirim, semuanya seolah menghilang.” Bellva menyandarkan kepalanya di meja, wajahnya penuh kekhawatiran. “Ada yang tidak beres, El. Aku tidak bisa santai begitu saja. Ada sesuatu yang aneh.”
Elena meresapi kata-kata Bellva. Jika Livia tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa jejak, pasti ada alasan besar di baliknya. "Kita harus terus cari tahu. Jika ada yang terjadi sama dia, kita tidak bisa tinggal diam."
Bellva mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri. Pikirannya terus berputar, tidak bisa berhenti memikirkan apa yang mungkin sedang terjadi pada temannya itu. Apalagi saat mendengar Elena berbicara, dia tahu mereka tidak bisa duduk diam menunggu kabar, tetapi harus segera bertindak.
“Baroza, apa kita bisa cari jejak Livia lebih lanjut?” tanya Bellva dengan suara yang lebih tenang, meskipun kecemasan masih jelas terlihat di matanya.
Baroza mengerutkan kening, pikirannya mulai bekerja cepat. “Aku bisa coba cari tahu lewat sumber-sumber lain. Mungkin kita bisa cari rekaman CCTV atau jejak lain yang bisa memberikan petunjuk.”
Bellva menatap Baroza, sedikit berharap ada sesuatu yang bisa membantu mereka mendapatkan informasi lebih lanjut. Namun, di balik matanya tetap tergambar ketidakpastian yang tidak terjawab.
"Kalau bisa, kita perlu mulai dari orang-orang terakhir yang berhubungan dengan Livia," lanjut Baroza. "Mungkin ada yang bisa memberi petunjuk."
Elena mengangguk setuju. “Betul. Kita bisa mulai mencari informasi dari mereka yang dekat dengan Livia akhir-akhir ini. Mungkin ada sesuatu yang terlewatkan.”
Bellva kembali memeriksa ponselnya, berharap ada perubahan. Sebuah pesan atau panggilan yang menenangkan kecemasannya. Namun, layar ponselnya tetap kosong. “Aku harus tahu apa yang terjadi,” gumamnya dengan tekad penuh.