Bellva terduduk lemas di lantai, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar tanpa henti, mencari jawaban atas misteri menghilangnya Livia. Hatinya dipenuhi kekhawatiran, sementara tubuhnya yang basah kuyup oleh hujan semakin membuatnya menggigil.
Di tengah ruangan yang berantakan itu, Baroza mondar-mandir dengan gelisah. Matanya tajam, mengamati setiap sudut ruangan, seolah berharap ada sesuatu yang bisa memberikan petunjuk. Gerak-geriknya tegang, rahangnya mengeras menahan emosi yang tidak terungkap. Elena yang berdiri di dekat pintu mengamati keduanya dengan ekspresi prihatin. Mereka semua kelelahan, tubuh mereka basah dan kedinginan. Parahnya lagi mereka masih belum menemukan jawaban apa pun sampai saat ini.
Elena akhirnya menarik napas dalam dan berbicara dengan nada tegas. "Kita harus berhenti dulu untuk malam ini."
Bellva menoleh dengan tatapan penuh protes. "Apa? Tidak, kita harus mencari tahu lebih banyak lagi, El. Kita tidak bisa diam saja."
"Bell, lihat keadaan kita," Elena berusaha bersikap rasional. "Kamu kedinginan, pakaian kita basah, dan kita sudah kelelahan. Tidak ada gunanya memaksakan diri dalam kondisi seperti ini. Besok pagi kita bisa melanjutkan pencarian dengan kepala yang lebih jernih."
Bellva terdiam lalu menghela napas panjang. Kata-kata Elena memang masuk akal. Meskipun hatinya dipenuhi rasa tidak tenang, dia harus mengakui bahwa mereka membutuhkan istirahat.
"Baiklah," gumamnya pelan. "Kita bisa menginap di apartemenku. Aku tidak mau kita berpencar. Situasinya terlalu berbahaya."
Elena mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Kita harus tetap bersama."
Namun, tiba-tiba dia menatap Baroza dengan alis terangkat. "Tapi, bagaimana denganmu, Za? Apa kamu punya baju ganti?"
Baroza menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Elena dengan ekspresi santai, meskipun kelelahan terlihat jelas di matanya. "Tenang saja, aku selalu membawa beberapa setelan pakaian di bagasi mobil."
Elena mendengus kecil. "Tentu saja kamu selalu siap."
Tidak membutuhkan waktu yang lama, mereka segera keluar dari apartemen Livia dan menuju ke mobil. Hujan masih turun deras, membasahi tubuh mereka lebih parah lagi. Bellva melipat tangan di depan dada, berusaha menahan dingin yang semakin menusuk tulangnya. Baroza berjalan lebih dulu, membuka bagasi mobil, mengambil tasnya lalu masuk ke dalam mobil bersama yang lainnya.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen Bellva, suasana di dalam mobil terasa berat. Tidak ada yang berbicara. Hanya suara hujan yang menghantam kaca mobil dan suara deru mesin yang menemani mereka. Bellva memandangi layar ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Livia. Namun, harapan itu sia-sia. Layar tetap kosong.
Sesampainya di apartemen Bellva, mereka langsung masuk dengan langkah terburu-buru. Begitu pintu tertutup, Elena langsung berseru, "Aku butuh mandi air hangat sekarang juga. Aku bisa mati kedinginan."
Bellva tersenyum tipis, meskipun pikirannya masih kalut. "Silakan. Aku punya handuk bersih di lemari kamar mandi."
Elena segera menghilang ke dalam kamar mandi. Sementara itu, Baroza meletakkan tasnya di sofa dan menatap Bellva yang masih berdiri di dekat pintu dengan ekspresi kosong.
"Bell, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.
Bellva terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk lemah. "Aku hanya tidak bisa berhenti memikirkan Livia."
Baroza mendekat dan menepuk bahunya pelan. "Kita akan menemukannya. Kita tidak sendirian dalam hal ini."
Bellva menatapnya lalu menghela napas. "Aku tahu. Aku hanya takut kita sudah terlambat."
Setelah mereka semua membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka berkumpul di ruang tengah. Bellva duduk di sofa dengan tatapan kosong ke arah meja. Tangan kanannya merogoh tas yang ada di sampingnya, mengeluarkan sesuatu yang telah sejak tadi mengganggu pikirannya.