Siluet

violia natha
Chapter #3

BAB 3

Seberkas sinar dari jendela masuk ke dalam sebuah ruangan gelap lewat celah gorden. Sinar tersebut jatuh tepat di wajah seorang gadis yang sedang berbaring. Dahinya berkerut karena merasa terganggu. Kelompak matanya bergerak-gerak, tak rela kalau harus mengahiri kegiatan tidurnya dihari ini. Dia menggeser tubuh, menarik selimut hingga menutupi wajah, tapi segera menghempaskan selimut itu ke lantai karena merasa kepanasan.

Dia terpaksa berdiri lalu mengganti posisi. Sinar matahari tak lagi menghalangi tidurnya. Gadis itu merasa lega karena ingin sekali kembali terpejam melanjutkan mimpi yang terjeda, namun suara  suara ponsel membuatnya terpaksa beranjak dari ranjang.

Sempoyongan dia mencari ponsel dengan mata setengah tertutup. Tangannya meraba-raba permukaan ranjang, namun tak ketemu. Dia mulai berjongkok, tangannya meraba permukaaan lantai  mengikuti datangnya suara.

Benda sialan itu dia temukan dengan susah payah di dalam tas yang tergeletak di sudut ruangan. Layar diusap kasar lalu dia tempelkan kesebelah telinga. “Hm…?”

“Eh BANGUN! Ini udah jam 2 siang!”

Gadis itu menguap lebar. Dalam keremangan ruangan, dia melebarkan mata. Jam yang tergantung di atas pintu menunjukkan pukul 2 siang.

“Buruan keluar, makan siang!”

“Keluar kemana? Gue makan yang ada di rumah lo aja ya.”dia berjalan ke arah jendela untuk membuka gorden. Sinar matahari memenuhi kamar, menunjukkan wujud kamar yang sesungguhnya.

Daripada kamar, ruangan itu lebih cocok disebut penyimpanan pakaian. Selain rak-rak tinggi yang tergantung baju, terdapat  tumpukan paket baju yang belum dibuka dan kardus-kardus ditumpuk cukup tinggi di lantai. Di dekat jendela di tempati sofa bed yang menjadi tempat gadis itu tertidur tadi pagi.

“Dirumah gue nggak ada apa-apa. Lu buruan mandi, terus ke café Rama. Setengah jam  lagi gue kesana.”

“Gue di rumah aja deh.”

“Ih… Lu itu udah lama nggak kesini. Kita berempat harus kumpul. Nanti ada Rama sama Tyo. Pokoknya lo harus kesana, nggak mau tahu. Awas kalau nggak!”telfon tertutup secara sepihak.

Gadis itu berdecak. Dia masih sangat mengantuk. Terlalu malas untuk bergerak dihari sepanas ini. Lihat saja matahari bersinar cerah, awan tak terlihat sama sekali. Dalam keadaan seperti ini bertemu teman-teman lamanya bukan prioriatas. Yang dia inginkan hanyalah tetap tinggal disini tanpa melakukan apapun.

*

Berjalan kaki dibawah sinar matahari terik membuat gadis itu menghela nafas. Sepuluh menit yang lalu dia turun di halte bus. Kalau dari maps lokasi café itu sudah dekat.

Café Rama terletak di jalan utama pada daerah kampus. Dari apa yang dia baca di social media, banyak mahasiswa menjadikan jalan tempat Rama mendirikan café sebagai tempat hangout. Setelah melihat sendiri, sepertinya memang benar. Sepanjang jalan dia menjumpai deretan tempat makan dan café dengan berbagai tema, serta toko-toko. Di samping sebuah toko buku, akhirnya dia menemukan milik café Rama.

Dia menyisipkan rambut panjangnya ke belakang telinga lalu memasuki café aestetiq yang didominasi warna putih.  Café itu tak terlalu besar namun tetap terlihat luas. Melihat gaya dekorasi dan penempatan bunga-bunga segar di sudut ruangan, gadis itu yakin Dira-lah yang memegang tanggung jawab atas dekorasi ini.

Dia sudah berharap akan disambut meriah oleh teman-teman lamanya, namun sepanjang mata memandang  tak ada Dira dan Rama. Disana justru penuh oleh gadis-gadis. Ada sekitar 10 meja di dalam ruangan yang kebanyakan sudah diisi oleh dua sampai empat orang per-meja.  

‘Hebat juga padahal sekarang belum terlalu sore. Bukan waktu yang tepat untuk duduk-duduk cantik dicafe.’gumamnya takjub.

Lihat selengkapnya