Demi Penguasa Lautan Utara, Venrir bersumpah telinganya mendengar suara langkah kaki di tengah malam tatkala tubuhnya terbaring di atas tilam bersih nan nyaman. Insting serigalanya mulai menguar, mengumbar bahaya yang mungkin datang dari arah tak terduga. Mata ungunya menyala saat dia bangkit dari tidur.
Kerlingnya tertuju pada daun pintu. Dia memicingkan mata sembapnya yang telah menumpah tangis tanpa suara selama beberapa jam terakhir. Batinnya remuk redam malam ini.
Tak didapatnya apa pun kecuali rinai sunyi tanpa dengung pun gema. Kakinya mulai menapak di lantai batuan gelap yang nyaris sebeku salju. Dengan tubuh gemetaran hebat pasca gejolak emosi yang tak pernah dia perlihatkan pada siapa pun, Venrir melangkah tanpa menimbulkan sehelai pun suara. Dia meraih pedang Scimitar di sisi meja dan beranjak dari tilamnya.
langkahnya mengendap, menuju ke arah pintu. Dia menempelkan sebelah telinganya pada daun pintu, namun hening sunyi yang bisa dia tangkap. Tangannya meraih knop pintu, membukanya lebar-lebar. Tak dibingkai oleh matanya apa pun jua.
Angin dingin berembus ke arahnya, mendinginkan kulit tubuhnya yang hanya dibalut Tanktop hitam dan celana super pendek. Rambut pendeknya yang dia acak-acak ikut berdansa dipandu embus angin pelan.
Venrir melangkah keluar kamar; mata tajamnya mengawasi dengan saksama. Tepat di saat itulah, dia melihat sosok berpakaian putih dengan rambut pirang panjang, berbelok arah menuju lorong besar. Scimitarnya kembali siaga setelah dia memutarnya ke belakang lengan hingga ujung melengkungnya berada di atas bahu.
Perlahan, dia mengikuti sosok itu.
***
"Ella?" suara serak Venrir mengalun dengan getaran tak biasa.
Sesosok wanita cantik berdiri di depan cermin besar yang dipagari sulur tanaman, di sebuah ruangan sederhana yang relatif hampa dan tak banyak barang. Wanita itu langsung menghadap ke arah Venrir begitu gadis anggun itu memanggilnya.
"Venrir! Kau belum tidur, Sayang?" Ella segera melenyapkan cermin besar di hadapannya dengan mengurai sulur-sulur tanaman yang mengelilingi cermin itu. Dia berjalan menghampiri Venrir, "Kau terlihat kacau," senyum tipis tersimpul.
Venrir bungkam seribu bahasa, tiada kata apa pun terangkai dari bibirnya. Kepalanya tertunduk sementara dia menipiskan bibirnya yang anggun. Di depan Ella, di tertegun bisu. Tubuhnya mulai berguncang selagi tangannya melemas. Scimitarnya jatuh membentur lantai hingga gema denting logam menyebar.
Suara isakan mulai terdengar. Dengan lembut Ella meraih dagu Venrir dan mengangkatnya agar dia bisa melihat wajah tersayat gadis anggun itu. Hati Ella tercabik saat melihat luka di mata Venrir, luka yang persis seperti yang dia rasakan dulu. Perlahan, dia mengelus sisi wajah Venrir dengan begitu lembut bagai seorang Ibu yang tengah menenangkan anak gadisnya yang patah hati.
"Apa rasanya sesakit ini ...?"
Ella tak kuasa mendengar pertanyaan itu, dia mulai berlinang air mata. Detik berikutnya, Ella merengkuh Venrir ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu menumpahkan semua sisa kesedihannya.
"Ya ... rasanya memang sesakit ini ..."
***
"Kau yakin bisa membuat portal sampai ke Xenevoren? Itu di tengah laut, tahu!" Belfez menatap Venrir dan Ella bergantian dengan tangan terlipat.
Ketiga anggota Vermillion itu tengah berdiri saling menghadap di tempat kemarin Ella memberitahu keadaan yang sesungguhnya pada sang Silver Blood. Mentari pagi memang tiada mungkin menembus masuk ke dalam sana pun keadaan ruangan yang tiada berbeda dengan malam hari, namun ketiga orang itu dengan waras sudah tahu kalau saat ini, pagi telah menyingsing.
"Aku memindahkanmu ke kutub selatan sebelumnya, Idiot! Haruskah aku melakukannya lagi sekarang?"
Ella menatap Venrir sejenak sebelum matanya mengarah pada prajurit seniornya, "Aku yakin Venrir bisa melakukannya, tapi sebelum ke sana, kita butuh perbekalan untuk melintasi lembah Tynveliedas sebelum tiba di Heinencatris."