Silver Blood

Chairurizal I K
Chapter #1

Jatuhnya Para Pelindung

Denting logam penuhi telinga. Darah terciprat dalam riuh kecamuk pertarungan. Langit gelap total, tak biasa. Hutan pekat gulita dan dinding kabut membuta, adalah medan perang. Musim gugur tengah meluruh, pada tahun 1340 masehi.

Keadaan dinding kabut yang mengungkung di segala penjuru bukanlah ulah alam. Malam yang tak begitu dingin rasanya tak mungkin mengundang kabut setebal ini. Jelas. Ini ulah mereka. Ulah para pemburu itu.

Bukan hanya desing panah hitam yang melaju tak logis, menembus tebal kabut, yang harus dikhawatirkan, tapi kecepatan para pemburu itu, yang sama-sama tak masuk akal. Seolah ada cambuk baja yang menanti mereka, para pemburu itu terus mendesak.

Langkah mereka yang kesetanan seolah tak kenal kata lelah, sementara pekat harum Lavender yang menenangkan seolah bertolak belakang dengan profesi mereka. Tak ada dari pemburu itu yang memberi sedikit pun ketenangan, kecuali bagi pengikut mereka.

Durramiel Trinity, Sang Pelindung, kewalahan menghadapi para pemburu itu.

Pasukannya terbantai habis, dan tersisa lima orang. Dia; anaknya, Kyramiel Trinity; Jenderal setianya, Elleria Adhara; sahabat anaknya, Venrir Venrea; prajurit senior yang selalu memprotes keputusannya, Belfez Slardyl. Bersama lima orang itu, seorang wanita cantik berambut perak tampak sudah menghabiskan seluruh napasnya untuk berlari.

Mereka memang sudah melintasi hutan ini selama beberapa jam, berlari dengan kecepatan penuh. Kini, mereka masih berlari, dengan kubah pelindung yang dirapalkan Durra sendiri. Setidaknya, bisa melindungi dari hujan panah hitam yang tak henti.

Mereka harus keluar dari kepungan kabut ini. Wanita itu adalah harapan terakhir yang mereka miliki, mereka harus melindunginya apapun yang terjadi.

Kelima orang itu terluka parah, namun wanita berambut perak itu tak tersentuh. Belum.

Rambutnya yang perak sudah basah karena keringat dan darah orang lain. Kakinya yang terasa mencair sudah tak sanggup lagi berlari. Jantungnya yang memang bukan jantung seorang pelari, sudah protes sedari tadi. Dia pun tahu dia harus hidup, namun rasanya kalau terus berlari seperti ini, dia akan mati kelelahan.

Tidak. Tak bisa lagi.

Detik berikutnya, wanita itu jatuh tersungkur ke tanah basah. Matanya terpejam, telinganya seolah tak mampu lagi mendengar apapun, dan bernapas bukan lagi hal yang mudah baginya.

“Yuva!” Durra berhenti dan langsung berbalik, tanpa ada yang memberitahunya.

Lelaki kokoh itu memang berjalan di depan, memimpin. Dia langsung menghampiri Yuva, wanita berambut perak itu, dimana anggota kelompoknya segera menyingkir dan beralih membentuk formasi bertahan, siap berkorban nyawa.

Berselang dua detik, desing panah dan pisau lempar mendirus lebih deras lagi. Elleria segera mengangkat perisainya yang berbentuk segilima tinggi-tinggi, menggantikan kubah pelindung Durra yang sirna.

“Yuva! Yuva ... bicara padaku ...,” Durra melempar pedangnya begitu saja dan langsung bersimpuh, dia menarik wanita itu pada rengkuhannya, lalu mengelus sisi wajahnya yang dipenuhi noda tanah.

Yuva menggeleng lemah, lalu tersenyum samar, “Aku tak bisa berlari lagi ....”

“Kau harus, kau harus!” Durra berusaha memapah wanita itu.

“Tidak ... dengarkan aku ...,”

Lihat selengkapnya