Luruh daun tak janggal, mengingat ini penghujung musim gugur. Angin dingin yang berembus menusuk seolah pertanda akan datangnya musim salju yang ganas. Ini sudah nyaris memasuki akhir semester dan cuaca seolah mendukung agar libur semester diperpecat.
Lorong putih bersih yang lebih mirip disebut koridor rumah sakit baru dia pijak selama setengah tahun. Sylvana Myrrha, gadis penghuni jurusan Sastra ini agak risih dengan namanya yang selalu dibicarakan di kampus.
Seisi kampus selalu memaksanya mengikuti lomba-lomba modeling, dan itu membuatnya terkenal minta ampun. Jujur saja, ketimbang menjadi model, Sylva lebih memilih berjualan bunga di pasar. Sebagai bentuk protes yang tak bisa dia sampaikan terang-terangan dengan kata, Sylva mengecat rambut panjangnya menjadi Light Ash Grey. Dia berpikir, wajah orientalnya tak akan cocok dengan warna itu dan dia tak harus ikut lomba lagi di awal masa perkuliahannya, tapi nyatanya itu salah besar.
Sudah sejak dia berjalan meninggalkan kelas terakhirnya sore itu, seisi lorong menatapnya. Dia punya banyak pengalaman ditatap orang, dan dia tahu bentuk protesnya gagal. Sylva menepuk pelan keningnya sambil menunduk, membiarkan tangannya menutup sebagian wajah, sementara sisi rambutnya memberi perlindungan dari samping.
Buru-buru dia melangkah keluar dari gedung kampusnya. Wajah malasnya terlihat lesu sekali, sementara penyelasan ikut menyelip di sana. Halaman kampus yang sudah mulai beku menyambutnya murung, bersamaan dengan sahutan seorang lelaki dan langkah sepatu terburu-buru.
“Sylva! Sylva!” panggil lelaki itu semakin histeris.
Sylva semakin memendam malas wajahnya. Langkah kakinya coba dia percepat, tapi lelaki itu menyusulnya dan langsung berdiri menghalangi, menunjukkan sosoknya yang tinggi.
“Hai,” seberani pelaut di air berbadai; seyakin ilmuwan dengan pengetahuannya. Lelaki itu menyapa dengan senyum lebar.
Sylva menarik napas samar, lalu mengangkat wajahnya.
Yap, Kelelawar ini lagi.
Sylva memaksakan senyum, berusaha sopan. “Hai,” balasnya lesu.
“Ka-kau terlihat cantik dengan rambut barumu,” puji lelaki itu terbata-bata.
Sylva terdiam beberapa detik, sebelum sadar dia mungkin harus berpura-pura senang, “Terima kasih.”
Tidak berhasil. Sylva memang tak pandai berakting.
Untungnya, lelaki itu tak pandai pula membaca ekspresi. Dia melebarkan senyum seolah telah berhasil menunjukkan perhatian.
“Kau mau pulang? Mau kuantar?” lelaki itu menunjuk mobil sport berwarna merah berani miliknya dengan jempol. Senyum lebar masih terpajang, seolah dia manusia paling oke di muka bumi.
Sylva melirik tipis. Dia tidak terkesan sama sekali. Ada sepuluh mobil macam itu di garasi rumahnya dan dia tak pernah begitu tertarik mengendarai satu.
“Ergh ... aku harus ke suatu tempat dulu,” tolak Sylva ragu.
“Ya ... biar kuantar.”
Sylva mengernyit, “Maksudku suatu tempat di kampus.” Dusta.
“Oh,” lelaki itu tampak kecewa, “boleh kutemani?”
Sylva menahan napas jengkel beberapa detik, tapi akhirnya tersenyum, “Maaf, aku mau belajar untuk ... ya, belajar saja.”
“Ya, kutemani kau belajar,” lelaki itu kembali tersenyum sambil mengantongi kepalan tangannya, “belajar bersama lebih baik, kan? Akan kuajak teman-temanku.”
Kepalan tangan mengeras murka, sementara matanya terpejam. Sylva yakin magma dalam tubuhnya sudah tak sabar merendam si Kelelawar ini hingga benar-benar tak bersisa.
“Sylva!” suara seorang gadis.
Sylva mengenalnya. Berjuta umpatan dan makian tak jadi dia lemparkan, karena penyelamatnya datang. Vivian, sahabatnya sejak masuk kampus, datang dengan setelan kardigan sederhana dan celana jeans. Rambut pirang bergelombangnya memantul selagi dia berlari menghampiri Sylva.
Lega rasanya dia tak harus bermasalah dengan si Kelelawar, meski dia selalu ingin setidaknya memberikan tinju kanan pada wajah over-confident itu.
“Vivi!” Sylva menyambut sahabanya dengan riang, tidak dibuat-buat. Dia melambai pelan.