Seluas bentangan savana; pilar-pilar raksasa merimba bagai kungkung hutan abu-abu. Rumah Sylva cukup untuk menampung ratusan orang dan memang biasa digunakan untuk menampung ratusan orang saat ada acara-acara penting.
Desain interior apik yang dipadu dengan cat cerah di tembok dan pantulan cahaya lampu di lantai mengkilat selalu berhasil membuat siapa pun betah berlama-lama, walaupun hanya sampai di aula depan, dimana acara-acara penting biasa dilaksanakan.
Sementara bagian rumah yang lebih privasi ada di bagian belakang rumah, dipisahkan dengan lorong amat lega. Bermacam lukisan dan patung berjajar di sisi-sisinya, dan lampu gantung antik terasa menyambutnya tiap kali Sylva berjalan di bawahnya, tak peduli jam berapa dia pulang.
Ini jam sepuluh malam dan Sylva hanya ingin mandi, lalu menunggu pesan Vivi. Dia tak sabar.
Harum pewangi ruangan sudah mengalahkan harum deodoran yang dia pakai, dan itu alasan yang cukup untuk tetap mandi meski sudah selarut ini.
Halaman luas telah dia lalui, para penjaga keamanan terlihat lega melihat Tuan Putri mereka kembali dengan selamat, atau lebih tepatnya kepala mereka selamat karena Sylva pulang dengan kondisi utuh.
Sylva memainkan ponselnya selagi kakinya melangkah tanpa beban melewati ruang tengah yang tak ubah balairung rumah aktor Hollywood. Pengaturan notifikasi Instagram-nya sudah dia atur agar tak berdering atau bergetar. Terlalu banyak Direct Message yang masuk membuatnya pusing sendiri.
“Sylva,” suara wanita menyapanya lembut.
Sylva memberi lirikan kecil pada sofa panjang di sisi kanannya. Di sana, seorang wanita berumur empat puluhan tengah sibuk menelaah sebuah berkas di tangannya dengan Blazer kerja yang masih rapi. Rambut pendeknya terlihat jutek, tapi gurat dan lekuk dalam di pipinya jelas menunjukkan dia wanita yang suka tersenyum.
“Hai, Bu,” Sylva tersenyum lebar dan menghampiri wanita itu. Jaraknya masih agak jauh karena ruang tengah yang begitu luas.
Sylva berjalan dengan tenang. Tas ranselnya sedikit berguncang saat dia akhirnya duduk di sebelah wanita itu, “Ibu juga baru pulang? Ayah kemana?” dia kembali sibuk dengan ponselnya.
“Iya, kasus kemarin makin panas, terdakwa tak terima hasil sidang dan minta waktu buat pikir-pikir langkah hukum yang mau dia ambil,” Ibu Sylva menghela napas, “Ibu jadi harus stay di kantor sampai larut. Kalau ayahmu, ya, dimana lagi?”
“Mengotak-atik hobinya di ruang koleksi?” Sylva tak menatap, matanya fokus pada jendela percakapan grup aplikasi Vervira, yang digunakan seluruh mahasiswa di kampusnya.
“Tuh, tahu,” senyum tipis tampak di wajah cantik Ibu Sylva yang mulai menua.
Langkah sepatu terburu-buru, terdengar menghentak lantai dan sedikit bergema di ruangan yang hanya diisi alunan gemerecik air di sudut ruangan dan harum pewangi ruangan yang samar.
“Ny-Nyonya Luna, maaf, saya sudah mencari Nona Sylva, tapi ... Nona Sylva?!” mata lelaki itu mendelik seketika mendapati Sylva tengah duduk santai di samping Luna.
“Halo, Tuan Chad,” Sylva memberi sedikit lambaian jemari, meski matanya tetap saja sibuk pada ponselnya.
“Sudah, sudah. Tugasmu beres, kok, istirahat saja di ruanganmu, ya?” Luna pun tak memberikan matanya pada Chad, kepala pelayan di rumah megahnya.
“Ba-baik, Nyonya,” Chad membungkuk hormat, lalu melangkah pergi sambil mengernyit dan menggaruk rambutnya yang beruban.
“Sudah makan, Sayang?” Luna memberi lirikan kecil sebelum kembali membaca berkasnya.
Sylva menggeleng, “Belum. Ada makanan di dapur?”
Luna tertawa begitu saja. Dia menjatuhkan tangannya hingga membentur paha, suara carik kertas bergesek terdengar mengalun, “Kapan, sih, tak ada makanan di dapur? Kau ini lucu.” Dia kembali tertawa.
Senyum lebar tercipta di wajah eloknya, “Oke, aku mandi dulu.”
Sylva mengunci layar ponselnya dan langsung berdiri. Setelah memberi kecupan pada pipi ibunya, dia beranjak menuju tangga di sudut kiri, menuju kamarnya di lantai dua.
“Makan saja yang banyak, oke? Badanmu tak pernah gemuk, kok.”