"Namanya Albion Sazakiz, panggilannya Sézé, tinggal di Apartemen 29 seberang pet shop Kawaii, kalau nomor kamar, jangan tanya, karena aku tak tahu, dan kalau pun aku tahu, aku tak akan kasih tahu," suara Vivi di saluran telepon.
Sylva berdecak tak senang, "Berisik! Aku masih punya otak! Memangnya kau!"
"Aku juga punya! Sembarangan!" Vivi membela eksistensi otaknya.
"Tapi, cuma sebesar biji jagung, kan?!"
"Itu cuma terjadi saat ujian semester! Hari-hari biasa otakku normal, kok!" suara Vivi menyakiti telinga, "tapi, ya, memang sedikit tak beres." Dia tertawa pelan.
Sylva mendengkus jengkel, "Apalagi yang kau dapat? Tanggal lahir? Negara asal? Nomor ponsel?"
"Satu-satu, Cantik! Catatanku banyak, nih! Sebentar," terdengar suara carik kertas di balik-balik, "ulang tahunnya sekitar 7 bulan lagi, 8 September. Dia hanya lebih tua satu tahun darimu, jadi seharusnya tak masalah ...,"
"Siapa pula yang akan mempermasalahkannya!" Sylva sewot, di bawah dagunya, berbaring buku harian dan pena kesayangannya, "lanjut!"
"Okey, ini agak membingungkan, karena kalau kau tanya negara asal, dari data yang valid, dia asli Inggris, tapi jelas kita tahu wajahnya agak oriental, sepertimu, jadi kurasa dia blasteran. Mungkin ada keturunan sana, tapi aku tak tahu tepatnya."
"Asal ... Inggris ... blasteran," Sylva mendiktekan dirinya sendiri, "nah, ini yang terpenting, yang terakhir! Selalu yang paling penting!"
"Mau langsung nomor ponsel? Aku sudah cari yang lain juga, nih! Termasuk cewek dan kating yang mungkin jadi sainganmu!"
"Oh, ya? Apa? Apa? Apa yang kau dapat? Sebentar ... kita agak menggelikan, ya?" Sylva tiba-tiba berhenti menggerakkan penanya yang tengah menuliskan sesuatu setelah diktenya itu.
"Hey! Kau yang menyuruhku jadi Stalker macam ini, ya!" napas Vivi sampai terdengar di saluran telepon Sylva, membuat gadis berambut Light Ash Grey itu sedikit kikuk, "mau kuteruskan tidak?"
"I-iya, baik, baik, teruskan," Sylva mendekatkan ponselnya pada buku hariannya dan menggoreskan penanya, pura-pura kembali mencatat.
"Pertama, soal sainganmu dulu. Yang harus kau tahu, sainganmu itu sebanyak buih di lautan."
"Yang benar?! Sebanyak itu?!" Sylva mencoba mengartikan kiasan itu dengan nalarnya sendiri.
"Iya, banyak, tapi semua, ya, cuma buih. Seze juga sepertinya tidak tertarik sama satu pun dari mereka, kau tahu kating yang namanya Ailene? Sézé sepertinya menolak cinta Kak Ailene, entah bagaimana ceritanya."
Sylva menundukkan wajahnya, lalu menempelkan kepalan tangannya di kening. Dia mengentak-entakan ujung penanya di kertas, "Syndrom konselingmu muncul juga, ya? Aku jadi benar-benar tenang sekarang ... Ailene itu Victoria's Secret Angel di kampus!! Argh!!"
"Ya sudah! Tenang! Mungkin memang bukan selera Sézé! Siapa tahu dia ternyata suka juga padamu? Makanya dia menolak Ailene, bisa, kan?!"
Tak ada jawaban dari ujung lain sambungan telepon.
Vivi menghela napas, "Kulanjutkan saja, aku juga dapat informasi, kalau dia itu anggota komunitas bela diri di kota. Nah, makanya dia selalu pulang cepat kalau tak ada yang harus dilakukan di kampus. Terus juga, dia bekerja di salah satu laboratorium di kota sebelah tiap hari Sabtu dan Minggu, itu sebabnya waktu pesta tengah semester atau pesta-pesta lain, dia tak datang, mungkin ada urusan mendadak di lab-nya. Satu lagi, setelah kutelusuri dengan indraku yang setajam sarkasme dosen pembimbing, Pangeranmu ini orangnya baik sekali, dia ramah, dan sering tersenyum, tapi aku tak tahu kenapa dia jarang terlihat tersenyum di kampus."