Seorang gadis, duduk sendiri di atas atap gedung tinggi. Kakinya yang tak terututup sepatu, dia julurkan ke bawah, membiarkan angin dingin menerpa kulitnya. Gaun mini Halter Strap hitam yang dia kenakan tampak sangat terbuka. Panjangnya yang di atas lutut dan bagian atasnya yang tanpa lengan membuat kulit pucatnya tampak anggun di bawah luluran kirana temaram bulan perak.
Rambut hitamnya yang pendek sedagu dan sedikit bergelombang, tampak memukau saat angin memainkannya pelan. Riasan tipisnya belum sempat dia hapus, bibir kemerahannya masih terlihat jelas. Bulu mata lentiknya sudah terasa merisih, mata ungu tajamnya terlihat tak senang. Dia memang tak menyukai semua ini.
Sepatu Ankle Strap dengan hak tinggi sungguh menyakiti kakinya. Benda laknat itu tersampir di sampingnya. Sempat terpikir oleh gadis itu untuk membuang jauh sepatu itu, tapi hatinya merasa, dia masih membutuhkannya. Bukan untuk misi penyamaran selanjutnya, tapi sesuatu yang sebenarnya sangat ingin dia lakukan, setelah semua ini berakhir.
Masalahnya, entah kapan semua ini akan berakhir.
Gadis itu begitu cantik; begitu sempurna, namun sedingin dan sekejam Angin Everest.
Terdengar bunyi seseorang menepuk keningnya dari belakang gadis itu, "ASTAGA DRAGON!! HAHAHAHA!! Kau harus lihat dirimu di cermin, Venrir!"
Venrir memejamkan matanya, berusaha sabar. Dia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan, "Hai, Kadal."
Lelaki berjuluk 'Kadal' itu tak hentinya mengurai tawa dengan suara paraunya, "Ya ampun! Elleria kejam juga, bisa-bisanya dia membuatmu sekonyol ini!"
Venrir terima saja, meski rasa jengkel dan malas tampak di matanya, "Mau bagaimana lagi? Aku tak pernah suka misi macam ini, baju macam ini, sepatu macam ini ... kenapa gadis sinting sekarang menyukainya?" Venrir menggeleng, dia beranjak dari duduknya, dan menghadapkan tubuh ramping menggodanya pada lelaki itu, "apa yang kau temukan?"
Lelaki itu seolah tak terpengaruh dengan betapa memesonanya Venrir, dia tetap tak berhenti tertawa, bahkan saat dia sudah mencoba.
Venrir menatap malas dan melipat lengannya. Mau tak mau dia harus menunggu.
Cukup lama detik bergulir bersama deru angin malam, hingga akhirnya lelaki itu bisa mengendalikan dirinya, "Maaf, maaf ...," dia masih mengambil jeda untuk bernapas sambil memegangi lututnya yang lemas, membuat Venrir berdecak sebal, "Elleria mengirimku, katanya ... aduh ... apa, ya? aku lupa, sebentar ...," ujarnya tersandung-sandung remah tawa yang masih membuatnya geli.
Venrir menggeram pelan, jemari mungilnya mengepal murka, "Belfez, aku akan benar-benar mengulitimu hidup-hidup dan menjadikan kulit reptilmu sepatu baru!"
Belfez, lelaki berambut gelap dengan kulit kecokelatan itu tak mengindahkan ancaman Venrir, dia tetap berusaha menghentikan kegeliannya sendiri dan mengingat-ingat. Penampilannya juga jauh berbeda semenjak kekalahannya ratusan tahun lalu. Kini dia mengenakan celana panjang berbahan denim dan Hoodie berwarna gelap, sementara Sneaker putih trendy membungkus kakinya. Hanya potongan kain gelap panjang yang menutup matanya, yang tak berubah dari penampilannya.
Belfez mengacungkan jarinya, meminta tambahan dua detik sebelum akhirnya menjentikkan jarinya, "Yak! Aku ingat! Kyra sudah menemukan seorang Silver Blood, berita bagus, bukan?"
Ekspresi Venrir tak berubah. Dia menarik napas dalam, "Lalu?"
"Lalu?" Belfez menengadahkan tangannya ke samping, "ini kesempatan kita! Kau mau terus-terusan menjadi anjing liar seperti ini? Seorang Vermillion harus punya tujuan!" dia menunjuk Venrir tajam.
Venrir berdecak marah, lalu menggeram lagi, "Lalu aku harus apa, idiot! Apa perintah Elleria?!"
Belfez terdiam melongo, dia salah mengartikan, "O-oh, ya, itu ...," Belfez berdeham, "Kau dan Kyra akan menemui Silver Blood ini di kampusnya, dia seorang pelajar. Berita yang lebih bagus, bukan?"
Venrir nyaris menunjukkan apa yang dia rasakan kini, tapi untungnya wajah dingin tanpa ekspresinya menutup debar gejolak itu. Dia mengangkat sebelah alisnya, "Kampus? Oke, aku akan siap-siap." Venrir berbalik ke tepi gedung untuk mengambil sepatunya.