"Aku benci ditatap seperti ini," ujar Venrir pelan saat matanya menangkap tatapan dari banyak orang. Telinganya juga menangkap berbagai sebutan untuk dirinya. Ulzzang Girl, Idol Kpop nyasar, Real-life karakter Overwatch, dan lain-lain.
Kyra menanggapi dengan senyuman, "Mungkin karena pakaianmu."
Venrir menghela napas samar selagi mata tajamnya balas menatap dingin pada lelaki-lelaki yang memerhatikannya sejak dia masuk ke area kampus.
"Mau berpakaian atau telanjang pun aku selalu ditatap seperti ini," Venrir menarik tatapannya dengan memberi kesan malas luar biasa.
Kyra menahan tawa, "Kau pernah telanjang depan banyak orang?"
"Mana mungkin aku pernah!" bantah Venrir seketika, "bertarung dengan gerombolan Antares terdengar lebih baik di telingaku!"
Tawa pelan mengalun dari pita suara Kyra.
Bagian depan kampus yang lebih luas dari parkiran pesawat sudah mereka pijak sedari tadi. Mereka sendiri kebingungan, dan hanya berjalan-jalan tanpa tujuan. Jalan aspal lebar menghampar, sementara sisi-sisinya adalah taman berumput pendek yang biasa digunakan mahasiswa untuk duduk-duduk menikmati hari cerah.
Pohon-pohon bertaburan dengan rapi. Ditata sedemikian rupa agar kesan gersang terbantai oleh sejuk bayang dedaunan. Gedung-gedung indah bercat cokelat terlihat di ujung mata, namun rasanya mereka tak punya waktu untuk menelusuri seluk-beluknya.
"Kita sudah sampai disini, dan aku tak merasakan keberadan Silver Blood. Ada ide?" Kyra berhenti tak jauh dari pintu masuk ke gedung paling besar di sana.
Venrir ikut berhenti. Dia sedikit menunduk dengan mata yang ikut mengarah ke bawah, tampak tengah berpikir.
Venrir beralih ke arah yang sebelumnya dia tatap, "Siapa nama Silver Blood ini? Kau ada informasi lain tentang dia? Apa Elleria memberi detail lain juga?"
Kyra menggeleng, "Sayangnya tidak. Aku hanya tahu petunjuk tentang keberadaannya di kampus ini, dan Elleria hanya memberi keterangan seperti warna mata yang perak, seperti nyaris semua Silver Blood."
"Ini akan menjadi sulit ...," wajah Venrir kembali tertunduk, sementara lengannya terlipat.
"Sebenarnya ada satu lagi yang kutahu, Silver Blood ini bukan pelajar biasa. Dia juga bekerja sebagai orang suka berjalan di atas panggung, untuk mencoba-coba pakaian, apalah namanya, aku tak tahu."
Venrir mengernyit tiba-tiba. Ada lebih dari satu-dua hal yang mengganggunya saat Kyra mengatakan kalimat itu. Tapi, dia mengesampingkan beberapa.
"Model maksudmu?" Venrir menatap Kyra, penuh curiga, "kau tahu darimana?"
"Mencuri dengar dari HQ. Hanya itu yang kutahu. Yang pasti kita harus cepat menemukannya, kau tahu maksudku," Kyra balas menatap.
Venrir masih menatap Kyra dalam diam, sebelumnya akhirnya, "Aku punya ide. Ayo."
***
"Permisi," sapa Venrir dengan senyum lebar di wajahnya, suaranya yang agak berat, sedikit dia cemprengkan. Dingin Arktik di wajahnya mencair, seolah mentari semi berembus meniupkan kehidupan; wajah eloknya bertambah permai.
Seorang mahasiswa yang tengah duduk damai di bawah rindang pohon, membeku kaget dengan mulut menganga. Dia menepuk-nepuk bahu rekannya di samping seolah minta diberi tebasan kapak agar tahu dia tak bermimpi.
Dua orang rekannya menunjukkan reaksi tak berbeda.
"Boleh tanya sesuatu? Aku mencari seorang model bermata perak, apa ada dari kalian yang tahu? Informasi apa pun akan sangat berguna untukku," ujar Venrir manja.
Kyra mengernyit.
Tiga detik berlalu, hening.
"Tidak?" Venrir merengut murung, "sayang sekali, aku sangat ingin menghubunginya. Kalian juga bisa simpan nomorku kalau mau, tapi aku butuh informasi tentang model ini."
"Ergh! Itu!" satu orang langsung tersadar akan kesempatan ini, "mungkin yang kau cari itu ... ergh ... Sylva! Namanya ...,"
"Sylvana Myrrha!" rekannya menyerobot, "aku juga fansnya ... ergh ... maksudku dia cantik, sih, tapi sepertinya bukan yang tercantik, hahaha." Sungguh norak.
"I-iya, betul! A-aku sih, tidak menyimpan nomornya!" dusta, "tapi, sebagai teman yang baik, aku tahu alamatnya! Dia tinggal di perumahan Anggrek Bulan! Rumahnya yang paling besar! Pasti terlihat, kok, dari jauh!"
"Terima kasih!!" ucap Venrir penuh senyum, "sesuai janjiku ...," Venrir mulai mendiktekan sederet nomor dengan perlahan, sementara para Belatung Air itu buru-buru mencatatnya.
***