*Bzzztt* *Bzzztt*
Sylva masih setengah sadar saat ponselnya bergetar berulang-ulang. Ada telepon masuk, tapi Sylva tak berniat sama sekali untuk mengangkatnya. Bukan karena keadaan hatinya yang sedang tak bagus, tapi karena nyawanya belum terkumpul penuh.
*Bzzztt* *Bzzztt*
Satu lagi telepon masuk ke ponselnya. Sylva membuka mata dengan amat berat, tumpukan belek di matanya seolah mencegahnya untuk kembali pada dunia nyata, tapi entah sudah berapa kali ponselnya bergetar tepat di samping kepalanya. Jelas menyebalkan kalau dibiarkan.
"Cacing Pirang!! Berisik!!" Sylva menyambar wajahnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya meraih ponsel dengan garang.
Lidah Sylva sudah gatal untuk melontarkan bola api panas, tapi begitu dia meletakkan ponselnya di telinga, sambungannya terputus.
Sylva berdecak tak senang. Dia mengucek matanya, merontokkan bekas-bekas tidur pulasnya. Setelah benar-benar terbuka, dia membawa ponselnya ke depan wajah, melihat pesan spam macam apa yang Cacing Pirang itu tulis.
Otaknya nyaris jungkir balik saat melihat siapa yang meneleponnya sebanyak 29 kali. Dia melompat dari tilamnya dan terduduk kaget selagi jantungnya berdebar cemas.
Sylva menepuk pelipisnya hingga kepalanya berguncang.
Mampus!!
***
"Ha-halo ... Sézé?" dengan suara selembut kain sutra Habutai, Sylva memberanikan diri menelepon balik Sézé.
"Hai," terdengar suara datar dan tenang, "maaf aku tak sempat membalas pesanmu tadi malam, aku lembur."
Sylva mengalihkan tatapannya pada kalender cantik di sudut kamar. Minggu, 29 September.
"Oh, ya, tak apa, harusnya aku yang minta maaf, maksudku ... mengirim pesan selarut itu, iya ... harusnya aku tahu kau sedang lembur ...! Ergh ...! Maksudku aku tidak tahu kau sedang lembur ... iya," suara paniknya jelas terdengar.
"Iya," jawab Sézé ragu dan lambat, "tak masalah."
Sylva terdiam dengan wajah canggung dan cemas. Jemari dingin dan bahu tegangnya seolah tak sabar akan kalimat selanjutnya, tapi Sézé tak kunjung memberi kalimat lanjutan.
"Myrrh?"
"Ya, ya? Apa?" sahutnya penuh semangat; canggungnya melumer menjadi senyum. Dia bahkan tak sadar dipanggil 'Myrrh' oleh Sézé.
"Aku benar-benar minta maaf, bagaimana kalau kutraktir kau makan siang?" suara Sézé tetap datar.
Mata Sylva membelalak selebar bulan purnama, seluruh tubuhnya seolah berubah menjadi bongkahan es padat, keterkejutannya membuatnya terlambat menjawab. "Ha-hari ini?" tanyanya gelagapan.
"Kau ada jadwal lain?"
"Tidak! Tidak!!" jawab Sylva buru-buru hingga dia agak berteriak. Jelas dia akan menghapus jadwal apa pun hari ini untuk Sézé, "Maksudku ... oke, hari ini." Dia menyelipkan poni singa-berantakannya ke belakang telinga. Sylva memang tak menyisir rambutnya dan langsung menelepon balik Sézé.