Lari. Lari lagi. Terus lari ....
Entah sudah berapa jauh, Sylva tak punya seberkas keberanian sekecil zarah pun untuk menatap ke belakang. Kepalanya dipenuhi suara, suaranya sendiri. Tapi, dia enggan, enggan untuk menatap ke belakang; enggan untuk tahu, pedih macam apa yang dibawanya pada Susan dan Jenkins.
Gelap hutan tak begitu dia hirau, arah tuju seolah buram abadi. Sylva hanya ingin lari, menjauh, dan pergi. Berulang kali dia menyeka banjir air mata di wajah dengan lengan kardigannya, tapi butir itu terlalu mustahil untuk dibendung. Telinganya tak mampu membiaskan suara geraman mengerikan yang masih menggema. Firasat berkata, mereka masih di sana, atau mengejar ke arahnya.
Dua jam istirahat di rumah sederhana itu tak membuat kakinya lebih baik, dan kini, saat dia harus berlari lagi, betis dan pahanya terasa dihunjam bengis, ribuan jarum panjang.
Tidak. Tak bisa lagi.
Detik berikutnya, Sylva terjatuh. Dia menyangga tubuhnya yang lemas minta ampun dengan kedua sikut, menatap tanah yang tertutup daun cokelat. Tangisnya kian meledak; kian menyayat. Kepalanya tak bisa berpikir, tapi penyerahan nyawa tak terdengar bagus sama sekali. Sylva mencoba bergerak, hanya saja dia tak bisa merasakan kakinya lagi. Dia menyeret tubuhnya dan bersandar di balik akar pohon besar, melanjutkan tangisnya.
*Krekk*
Sylva mendelik terkesiap saat telinganya menangkap suara itu tak jauh di belakangnya. Saluran pernapasannya sesak seketika seolah disumbat pecahan beku Cincin Saturnus. Jantungnya berdebar, keringatnya berubah ketakutan, ada hal dalam kepalanya yang sangat tak ingin dia pikirkan, namun dia tak bisa berhenti memikirkannya.
Kematian.
Sylva berusaha menghentikan semua gerakan tubuh dan suara. Dia menutup mulut dengan tangan kiri, bahkan hingga kuku jemarinya terasa menusuk pipinya sendiri. Kakinya dia lipat dan peluk dalam-dalam, sementara tangan kanannya meremas erat ujung Sweater Dress yang robek dan kusut.
Matanya menolak terpejam, putus asa belum sepenuhnya merajah hati. Masih ada harapan, meski tiap detik seolah berlalu dalam gemetar dan bayang simbah darah; seolah tak memberi izin bagi Sylva untuk melalui malam ini dengan selamat.
Harum Lavender ini begitu menyiksa, tak seperti yang biasa dia hidu saat pergi ke pasar bunga. Bersamaan dengan langkah yang semakin terdengar mendekat, putus asa seolah tak memberinya ruang untuk bernapas.
Sylva menutup matanya, erat sekali hingga muncul rasa nyeri di pelipisnya. Detik berlalu, semakin gelap; semakin pudar. Dia sudah tak bisa memenjara suaranya yang ingin berteriak sekencang mungkin, tapi telinganya menangkap sesuatu yang lain.
Langkah itu menjauh, ke arah kirinya.
Sylva memberanikan diri membuka mata. Keadaannya masih sama seperti sebelum dia menutup mata. Dia memajukan kepalanya, sedikit menoleh ke kiri, mendapati jauh di ujung kerling, punggung tiga orang dengan pakaian Medieval Jester berwarna merah berjalan lurus hingga terasa menghilang di antara lebat rimba pepohonan.
Tangan kiri Sylva masih mencengkeram erat saat dia menoleh ke arah kanan, keadaannya lebih sepi dari kuburan. Melihat harapannya kembali bersinar, otak macet Sylva menemukan lagi jalan untuk bekerja. Ini adalah kesempatannya.
Dia berdiri seketika dan berlari ke arah kanan, tanpa peduli apa yang akan dia temui atau kemana dia akan berakhir.
Baru tujuh langkah dia berlari, sesuatu yang sama sekali tak sampai dalam kepalanya terjadi. Dia menabrak sesuatu.
"Argh!!" pekiknya kesakitan.
Sylva terjatuh begitu saja seolah menabrak tembok beton kokoh. Keningnya berdenyut, dan tulang ekornya merintih kesakitan. Mata peraknya tak melihat ada tembok atau benda padat apa pun, pandangannya masih sama saat tadi dia berada dalam naung akar pohon besar.