Silver Blood

Chairurizal I K
Chapter #11

Setelah Pertarungan

Seorang gadis. Panjang rambutnya, Light Ash Grey warnanya. Berjalan sendiri memasuki kota saat fajar hendak menyingsing. Kardigan mahalnya robek di beberapa bagian, sementara Sweater Dress-nya tampak kusut dan kumuh. Langkahnya begitu pelan dan ringkih, dia bahkan harus mengangkat sebelah kakinya tiap kali merajut pijak. Wajah anggunnya terlihat syok, tubuhnya menggigil kronis, sementara tangannya sibuk memeluk diri sendiri.

Sylva tak tahu bagaimana dia bisa keluar dari kepungan kematian itu. Hal terakhir yang dia ingat adalah cahaya yang amat terang dan membutakan. Sebenarnya, dia sendiri tak yakin akan semua itu, semua hal yang bagaikan adegan film fantasi itu begitu tak logis dalam pikirannya, tapi melihat bekas di raga dan mentalnya, rasanya tak mungkin kalau itu semua mimpi.

Kepalanya terus berputar dalam tanya. Memikirkan berbagai kemungkinan yang semakin dipikir, semakin terasa tak mungkin.

Tenggorokan Sylva terasa dibakar asam sulfat, kering gersangnya sungguh menyiksa. Embusan angin dingin yang menerpa kulitnya terasa seperti bonus tugas makalah dari tujuh dosen berbeda. Giginya gemeretuk ringan, tapi hatinya berderak parah. Mengetahui dia sudah membuat dua orang baik menjemput ajal mereka, menyakitinya lebih dari fakta kalau dia juga baru saja lolos dari kematian.

Sylva memang tak bisa disalahkan atas kematian Susan dan Jenkins, tapi dia tetap tak bisa mengenyahkan perasaan bersalah itu.

Kakinya letih luar biasa, dan dia sama sekali tak tahu dimana letak kantor polisi. Ini sudah dini hari dan tak ada satu pun manusia yang dia temui. Sylva hanya terus berjalan, tanpa tahu apa yang menjadi takdirnya setelah ini.

Pandangan Sylva tertuju pada ujung sepatunya. Dia baru mengangkat matanya saat menyadari beton abu-abu di bawah alas sepatunya, berganti menjadi rumput hijau.

Sylva menatap lurus ke depan, mendapati seorang lelaki berambut hitam tengah duduk di bangku taman tak jauh di depannya.

Lelaki itu tengah duduk sendiri, membaca sebuah jurnal bersampul kulit cokelat di genggaman tangannya. Mantel gelap menyerkup tubuhnya. Celana bahan panjang dan sepatu kerja hitam menunjukkan lelaki itu sepertinya memang baru dari tempat kerja.

Sylva tertegun saat menatap lelaki itu. Ada banyak pertanyaan tambahan yang masuk dalam kepalanya. Dia jelas mengenal wajah tampan itu, walau hanya dari samping. Hatinya begitu porak poranda saat lelaki itu akhirnya menoleh dan menatapnya. Tatapan itu sungguh meluruhkan air mata, mengetahui lelaki itu tetap menunggunya hingga dini hari.

Sézé berdiri seketika. Keningnya mengerut cemas dan raut wajahnya terkesiap bukan main saat melihat kondisi Sylva yang luar biasa kalut, "Myrrh?!"

Tangis Sylva kembali meledak. Dia berlari semampunya ke arah Sézé, meski akhirnya dia terjatuh di tengah jalan dan Sézé yang harus menghampirinya, dan merengkuh Sylva dalam peluk erat.

***

Sézé tak berani memulai pembicaraan meski ada banyak sekali hal yang ingin dia tanyakan. Sylva tampak begitu lelah, bukan hanya fisik, tapi sepertinya dia mendapat trauma psikis. Lexus CT 200h warna putih dia kemudikan sepelan mungkin selagi matanya terus melirik Sylva.

Gadis itu terus menatap ke luar jendela setelah menangis di pelukannya selama kurang lebih setengah jam. Sézé tak sanggup menatap bagaimana menggigilnya Sylva meski dia sudah memberikan mantelnya pada gadis itu, dan mematikan AC mobilnya.

"Myrrh?"

Sylva tak menjawab.

Sézé menghela napas pelan dan kembali fokus ke jalan. Kini dia sudah berada di Jalan Layang, menuju rumah Sylva.

"Kau janji tak akan menganggapku gila, kan?!" tiba-tiba Sylva menengok dan berkata dengan suara agak keras.

Sézé menoleh, lalu mengangguk. "Janji," ujarnya singkat.

Lihat selengkapnya