Kyra sudah berhenti merintih, tubuh tegapnya sudah rampung dibebat perban rapi. Secara keseluruhan, dia sudah terlepas dari pedih luka di dadanya, tapi Elleria tak membiarkannya untuk bangun. Agak sepi berada di tempat ini sendiri. Bukan Headquarter, tapi basis kelompok kecilnya.
Jauh dari kata layak, mustahil kalau dibilang lumayan. Tempat ini bobrok. Atapnya jauh lebih mengenaskan dari terpal pedagang pasar, Kyra selalu berdoa panjang sebelum tidur, berharap atap purba itu tak jatuh menimpanya saat dia terlelap. Untuk lantainya, jangan harap bersih karena memang hanya seadanya, Temboknya cukup tebal, namun hanya sebagian, yang lainnya hancur berkeping.
Tak ada alat dapur apa pun karena mereka terlalu sibuk untuk mengurusnya. Mereka lebih sering berada dalam misi 24 jam penuh, dan selalu mencari makan di luar.
Venrir berada agak jauh dari Kyra. Ada beberapa hal mengganggu yang menyelip jelmakan tanya, tapi mengingat kondisi sahabatnya yang terlihat tengah ditimpa balok-balok bintang mati, membuat keberaniannya menciut hingga sebesar kismis.
Yang paling mengganggunya, adalah benda di tangan Kyra. Lelaki itu tak mau melepaskannya sejak dia menemukannya di bantaran sungai, tak jauh dari lokasi kecelakan siang kemarin.
Fedora ...
Hidung tajam serigala miliknya sudah sedari tadi mencium harum parfum amat menyebalkan dari topi itu. Tentu saja, Silver Blood kali ini memang seorang gadis, tapi mengapa Kyra tak mau melepaskan Fedora itu, bahkan saat Elleria memintanya.
Perasaan aneh mulai bergemul dalam sanubari, namun akhirnya dia meredam semua itu, untuk sementara.
Elleria datang ke bilik tempat Kyra berada, matanya sayu, berjejal sedih dan pilu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Elleria dengan lembut suaranya. Dia duduk di samping tilam Kyra, dengan sebuah wadah plastik berisi cairan berbau harum bunga Gardenia.
"Kalau kau memberiku izin untuk segera mencari Silver Blood ini, aku akan baik-baik saja," Kyra menenggakkan punggungnya. Dia duduk di atas tilam dengan kaki lurus.
Venrir mengernyit.
Tangan Elleria berhenti seketika saat dia sedang mengaduk isi wadah plastik di tangannya. Dia menoleh perlahan, "Keadaanmu seperti ini, dan kau tadi meneleponku, lalu mengatakan tak bisa menjemput Silver Blood." Dia kembali mengaduk.
"Ella, kumohon ...," mata Kyra memercik pantul cahaya saat dia mengatakan kalimatnya. Kesungguhan hatinya bisa jelas di lihat dari jendela kerlingnya.
"Kubilang tidak. Ada yang harus kau ketahui tentang kata 'Anatraite' yang Antares itu sematkan di dadamu," Elleria menghentikan tangannya, lalu menyodorkan wadah plastik di tangannya pada Kyra, "minum ini dulu."
Kyra masih memandangi Ella dengan kesal bercampur malas, tapi akhirnya dia mengambil wadah plastik itu dan menenggaknya hingga habis.
"Habis. Sekarang ceritakan padaku tentang Antares berpakaian putih itu."
Elleria jatuh dalam bungkam. Mulutnya seolah dikunci seribu gembok ketakutan hingga rasanya dia ingin menyobeknya saja. Berada di bawah sumpah HQ Vermilion membuatnya tak berdaya, tapi mengingat keadaan yang sudah seperti ini, dia putuskan untuk memberitahu Venrir, Kyra, dan Belfez.
"Baik, kau menang," ujar Elleria bersama senyum tipis yang dia paksakan, "akan kuceritakan semua yang kutahu."
***
Baik Venrir, Elleria, Kyra, dan Belfez tak pernah menyukai tempat ini. Keadaan ruang diskusi mereka tak lebih rapi dari kandang babi. Ditambah riuh suara warga kota yang seolah tengah parade sepanjang tahun. Melihat keengganan rekan-rekannya, Venrir membuka portal dan membawa serta ketiga rekannya ke tempat yang agak sepi.
Antartika.