Dengan setelan Short-Sleeve Retro Shirt dan celana Jeans biru gelap, Sylva menunggu dengan amat tak sabar. Kepalan tangannya berjejal di depan perut, saling menggenggam, sementara jemarinya bergerak gelisah. Matanya terus menatap ke arah gerbang rumahnya nan jauh di ujung kerling. Halaman yang luasnya tak tahu diri, begitu sunyi, seolah tak ada kehidupan, selain nyanyian gemeresik dedaunan.
Kondisinya sudah membaik. Thomas memanggil dokter pribadinya untuk memeriksa keadaan Sylva Senin kemarin. Lebih dari sekedar beruntung, Sylva tak mengalami luka serius pada raganya. Beberapa luka masih bisa tampak, seperti satu yang berada di keningnya. Tidak parah, hanya lecet dan kini sudah di plester. Namun, yang lebih membebaninya adalah trauma psikis.
Sylva sama sekali tak menceritakan apa yang terjadi hari minggu kemarin pada siapa pun, kecuali Sézé. Kedua orang tuanya belum tahu, pun sahabatnya yang dia juluki Cacing Pirang. Sézé tak melarangnya membicarakan hal itu pada siapa saja, tapi Sylva merasa, kalau dia mengetahui lebih lanjut tentang sekte laknat bernama Antares itu, dia bisa lebih leluasa membicarakannya.
Jam terus berdenting; tiada rintang bagi arus waktu untuk terus mengalir. Ini sudah nyaris siang, tapi Sézé belum juga sampai.
Apa dia sibuk? Apa dia lupa? Apa dia ... baik-baik saja ...?
Seketika itu pikiran Sylva menjadi lebih gelisah dari sebelumnya. Hari selasa memang memungkinkan untuk adanya kelas di kampus, tapi seingatnya, kelas terakhir sudah selesai sekarang. Keadaannya yang sudah diambang menganggur panjang di libur semester seharusnya berlaku juga untuk Sézé, dan mahasiswa lain pada umumnya, tapi lelaki itu tak kunjung datang.
Kening Sylva mengernyit, otaknya kian terbias menuju perasaan buruk yang seolah menyerbu dari segala penjuru. Dia menggeleng tiba-tiba, kemudian masuk ke dalam rumah.
Langkahnya terpacu, telepon rumah yang dia tuju. Ponsel barunya belum tiba, karena dia baru saja memesannya Senin kemarin. Sederet nomor sudah terpampang jelas dalam benaknya, dia tak bisa menunggu lagi.
Perjalanan cukup lama dia tempuh, luas megah rumahnya seakan tak pernah bosan membuatnya lelah. Telepon ada di ruang tengah, dan begitu aroma pewangi ruangan menusuk hidungnya, dia berbelok ke sudut kanan. Ada meja berukir indah di sana, dengan telepon di atasnya.
Sylva menyambar telepon rumah tanpa kabel dari atas meja, kemudian menekan nomor, lalu meletakkan ponselnya di telinga selagi berjalan ke sofa. Meski Sylva atau kedua orang tuanya jarang menggunakan telepon, tapi keberadaan benda itu sangat dia syukuri sekarang.
Nada tunggu membuatnya gusar, selagi dia menjatuhkan dirinya di sofa lembut menenangkan.
"Halo, Tuan Putri! Bagaimana keadaan Anda? Saya harap Anda bisa menceritakan bagaimana kinerja otak Anda hingga mobil Anda kecelakaan dan jatuh ke sungai?" Suara Vivi.
"Tak ada waktu Vivi. Apa kau masih menyimpan nomor Sézé?"
"Ya, pastilah! Ergh ...! Maksudku ... bukan karena apa-apa, ya ...," suara tawa pelan Vivi terdengar begitu kikuk.
Sylva mendesis jengkel, "Sudah mana cepat!"
Sementara tangannya bersiap dengan pena dan kertas yang kebetulan ada di atas meja, Vivi mulai terdengar sedang menekan beberapa tombol di laptop.
Setelah rampung seluruh angka dia catat, Sylva tersenyum lega, "Terima kasih banyak, aku janji akan menceritakan semua keidiotan otakku nanti."
"Pastikan kau menceritakannya! Atau akan kusebar nomor Sézé di semua grup cewek yang kupunya!"
"Iya, iya, pasti, kok," Sylva mengangkat carik kertas dengan nomor Sézé ke depan wajahnya, "tapi, apa kau melihat Sézé di kampus?"
"Nihil. Aku tak melihatnya sejak kemarin."
Pikiran buruk Sylva kembali membanat, seolah enggan memberi ampun hingga dia bisa bertatap wajah dengan lelaki itu. Sylva diam bungkam selama beberapa saat, sebelum akhirnya menggeleng samar.
"Oke, terima kasih sekali lagi, aku berutang banyak padamu, dadah!" Sylva mematikan teleponnya begitu saja, yakin sahabatnya tak akan terganggu dengan tabiat buruk yang satu itu.
Sylva menatap lekat nomor di depan wajahnya, kemudian menarik napas dalam. Sézé tak berada di kampus sejak kemarin, dimana kemungkinan lelaki itu berada? Sylva menggeleng untuk yang entah ke berapa kali, sebelum memulai sambungan teleponnya.
***