Lembayung telah sirna, indah lengkungnya dibantai gelap angkasa. Setelah seharian menemani Sézé mengurus apa pun yang harus lelaki itu urus, dia beranjak dari kota sebelah menuju rumahnya. Tabur kelip bintang di langit begitu menyihir matanya, sayang, Sylva tak bisa menatap hamparan permai itu bersama Sézé.
Tak banyak yang dia lakukan, bahkan dia cenderung hanya diam selagi matanya memerhatikan Sézé yang dicecar berbagai pertanyaan dari polisi. Kemudian, dia menemani Sézé ke kantor polisi, namun dia hanya diperbolehkan untuk menunggu di luar.
Hari ini memang tak berjadwal manis, dia menghampiri Sézé hanya karena dia ingin bertemu lelaki itu dan menyampaikan belasungkawa. Setelah itu mereka hanya makan dan mengobrol sedikit.
Tak masalah. Bagi Sylva itu sudah cukup. Dia bisa menghabiskan waktunya dengan Sézé lain kali. Yang pasti, sekarang rasa bersalahnya sedikit memuai. Senyum tipis tak henti menyimpul di wajahnya, tak peduli lirikan penasaran Chad dan asistennya.
Mata Sylva tertuju ke luar jendela, memandang kotanya dari jarak tinggi. Pikirannya begitu dipenuhi fantasi, hingga dia bahkan tak sadar dering ponsel mengalun.
"Nona Sylva, ada kabar yang harus Anda tahu," Chad memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
Sylva baru kembali pada dunia nyata saat Chad mengatakan kalimatnya, "Oh, ya, apa?"
"Tuan Thomas dan Nyonya Luna tak bisa pulang hari ini karena rekan kerja Tuan Thomas mengundang mereka untuk makan malam sekaligus hendak membahas proyek baru."
Sylva mengernyit seketika, "Rekan ... kerja?"
"Betul, Nona."
Dingin menjalar pada tiap sendi tubuh Sylva, seolah dia baru saja dicelupkan pada laut beku Atlantik. Cemas menjulang, begitu tangguh.
"Ayah memberitahu siapa nama rekannya ini?" Sylva bicara dengan kecepatan super hingga Chad tak begitu menangkap semua kata dalam kalimat Sylva.
"Tidak, tapi dari yang saya tahu mengenai proyek baru ini, rekan Tuan Thomas itu bernama Nyonya Ashley."
Luruh; gugur. Cemasnya mencair; semua kekhawatirannya luntur tak berbekas. Helaan napas lega terdengar, selagi matanya terpejam damai.
"Ada sesuatu yang membuat Anda cemas, Nona?"
"Tidak," Sylva menggeleng lemah, lalu membuka matanya, "tidak ada apa-apa."
Sylva menelan ludah. Baginya sungguh sulit menyimpan rahasia sebesar ini, rahasia dimana dia baru saja hendak dibunuh oleh kumpulan orang aneh. Trauma itu belum hilang, bahkan Chad berulang kali bertanya kenapa dia butuh tiga helikopter dan penembak jitu hanya untuk berkunjung ke kota sebelah.
Ada banyak alasan kenapa Sylva tak memberitahukan kejadian itu, dan kini dia pun masih belum bisa mengatakan apa pun.
Sylva tak sampai hati meminta Sézé menepati janjinya selagi dia tahu duka macam apa yang baru saja dialami lelaki itu. Lagipula, kisahnya masih panjang. Meski tak menampik ketakutan dan cemas masih meraung dalam relungnya, tapi hari ini, setelah dia mendapat kesempatan untuk bertemu Sézé, beban itu seolah meringan.
Lelaki itu bagai Panasea, obat penyembuh segala luka.
***
"Aku tahu, Cacing Pirang! Aku hanya tak sabar bertemu dengannya!" Sylva melempar dirinya sendiri ke atas kasur empuk dengan sprei hijau imut, "aku tak melihat mobil laknat itu, oke?!"
Ponsel baru Sylva sudah tiba setelah pihak penjual mendapat desakan dari Chad.
"Tetap saja kau idiot! Sumpah, kau benar-benar beruntung masih hidup setelah terjun dari jurang itu! Kau pikir mobilmu itu Kadal Asgard?! Antusias, sih, boleh saja, tapi ingat nyawamu juga, Bodoh!"