Empat. Tiga. dua.
Lelaki jangkung itu kian dekat.
Sylva tak lagi bisa bergerak, kecuali berguncang hebat. Sekadar mengedip rasanya tak mampu, begitu takutnya dia hingga matanya enggan menutup barang satu detik. Lidahnya tak mampu merangkai kata, seolah huruf-huruf mengurai lenyap dari otaknya.
Dingin menjalar setiap inci tubuhnya, tercium sudah ujung dari segala yang lahir.
Di depan kerlingnya sudah tampak sarung tangan besi yang runcing di tiap ujung jemari, mencoba meraih lehernya tanpa usaha ekstra, tak tahu luka macam apa yang nanti ditorehkan logam hitam itu. Kematian bukan lagi hal yang tak masuk dalam pikirannya, melihat 'Kematian' benar-benar ada di depannya. Perkara Surga atau Neraka sudah terpikir, tapi bagaimana dia sampai dan berpijak di antara kedua itu menyibukkannya lebih-lebih.
Sylva tak tahu kematian sepedih apa yang akan dia rasakan, tapi pikirnya sudah dibuntu putus asa. Rasanya dia memang tak lagi mampu menghindar. Di antara ketidaktahuannya dengan semua yang terjadi begitu cepat belakangan ini, mungkin memang maut jawabannya.
Ada sesal yang berjejal dalam hati, kenapa dia tak terus terang pada ayah-ibunya. Sézé tak pernah melarangnya memberitahukan semua ini, dia hanya dibungkam rasa takut dan kebodohannya sendiri.
Semua perasaannya larut. Teringat dalam bayang, wajah ayahnya, ibunya, sahabatnya, Kepala Pelayannya, lalu tiba-tiba, siluet lelaki itu terbayang. Sosok yang dipanggilnya tiap kali mimpi hendak bertandang. Sosok yang terpikir tiap kali fajar terbit menyingsing. Sakit rasanya, saat membayangkan wajah lelaki itu, saat raut itu tersenyum, saat dia tahu ... tak lagi datang kesempatan baginya, untuk melihat simpul indah itu.
Sylva memejamkan mata. Satu tetes air mata jatuh berselia.
Detik berikutnya, Sylva merasa seluruh tubuhnya dikekang miliaran jeruji hingga tak bisa dia gerakan, tubuhnya terasa membeku kekal seperti tak tersentuh hangat apa pun. Bersamaan dengan itu, lantai marmer mengkilap seolah menelannya utuh ....
Jatuh, dan jatuh.
***
Sylva merasakan sesuatu. Jok empuk, harum pewangi mobil rasa jeruk, dan deru angin di sisi kanannya bercampur riuh yang tidak dia pahami seketika.
Tubuhnya lepas dari kekang apa pun yang tadi membuatnya merasa seperti tiang besi. Jemarinya menghangat, pun seluruh tubuhnya. Seketika dia buka kerling perak matanya, mendapati dia sedang berada di kursi depan sebuah mobil yang tengah melaju kesetanan.
"Apa kabar?" sapa orang di balik kemudi yang sedang setengah mati mengendalikan setir ke kanan dan kiri, menghindari banyak lesatan benda tak logis.
Sylva menoleh detik itu juga, selagi tangannya berusaha mencari pegangan agar dia tak terempas akibat laju sinting si mobil.
Kerling perak Sylva mendelik begitu saja, "KA-KAU BU-BUTA?!" kalimat itu terlontar begitu saja, menyerobot beratus-ratus pertanyaan penting lainnya.
"Itu persepsi orang pada umumnya," lelaki itu mengarahkan wajah pada Sylva seraya mengacungkan telunjuk kanannya, "percayalah, aku tidak buta." Dia tersenyum sambil membanting setir ke kiri, menghindari satu lesatan rantai beraura gelap dari arah depan.
Sylva mengeratkan pegangannya pada handle pintu mobil saking tajamnya si mobil berbelok.
"KAU BUTA!!" Sylva bersikeras karena dia bisa dengan jelas melihat mata lelaki itu tertutup sepotong kain berwarna gelap.
Lelaki itu menghela napas, "Sudah kubilang, Serigala Laknat!" lelaki itu meninju atap mobil dengan tangan kanannya hingga bersuara cukup keras, "harusnya Kyra yang menyetir!" lelaki itu kembali beralih pada Sylva. "Oh, ya, aku Belfez," ujarnya santai.