Sebuah ruangan menjadi pilihan Sylva. Cukup luas, dan ada tilam bersih di dalamnya. Dia tak mau menanyakan kenapa seluruh bangunan begitu terjaga dan bersih, tapi pertanyaan itu tetap masuk dalam kepalanya. Sebuah meja yang diukir dari batu tersampir di dinding berhadap pintu masuk, sementara batuan mineral bercahaya diukir indah membentuk pilar kecil di tengah ruangan.
Kaki-tangan Sylva tampak merah karena ruam. Alerginya sudah bereaksi dan rasanya gatal setengah mati. Kalau saja dia tak memerlukan keduanya, dia akan meminta amputasi saja. Ruam merah juga tampak di sekitar leher dan wajahnya, dan itu membuatnya semakin tersiksa.
Derai air matanya masih turun, menderas, mendirus, lalu mereda, kemudian kembali menderas tak tentu. Apa yang disaksikan matanya sudah lebih dari cukup untuk membuat kepalanya remuk redam. Kehilangan Kepala Pelayan yang setia dan selalu ada untuknya sudah sangat menyayat, terlebih dia tahu bahwa sekarang empat orang dengan kekuatan dahsyat itu tak akan membiarkannya pergi kemana-mana.
Ya. Orang-orang yang menamai diri mereka Vermillion itu akan terus mengawalnya, sebagaimana orang-orang yang menamai diri mereka Antares akan terus mencoba membunuhnya.
Sylva menyadari itulah yang sesungguhnya terjadi, itulah kondisinya saat ini. Entah dia bisa bertemu ayah-ibunya lagi, atau mungkin saat ini mereka dalam bahaya, atau bisa jadi mereka telah tiada. Sylva terlonjak begitu pikiran buruk itu menyerang, dia menghirup masuk ingus yang memadati hidungnya seketika hingga terasa sedikit sakit. Tak peduli apa pun yang terjadi padanya, orang-orang ini tak mungkin membunuhnya kalau mereka diharuskan menjaganya. Dia langsung bangkit berbalik dan berniat kabur, tak peduli apa pun lagi.
"WAA!!" Sylva terjungkal kembali ke atas tilam saat matanya menatap makhluk berbadan besar setinggi 1,5 meter dengan kemoceng dan sapu.
"Naw, naw ... kamarnya sudah bersih, kok."
tampak di mata Sylva, seorang lelaki menepuk tangan kekar makhluk tinggi itu, sementara makhluk itu mengaum keras sebagai respon. Sylva berteriak saat kerasnya auman makhluk itu menggema, untungnya makhluk itu segera pergi. Seorang lelaki berambut pendek kecokelatan tampak dari balik makhluk itu.
"Hai," ujarnya seraya tersenyum ramah.
Penyegaran. Penghibur.
Sylva berharap dirinya tak seberantakan ini saat bertemu lagi dengan lelaki berambut cokelat itu.
"Ma-makhluk apa itu?!"
"Nnelua. Pernah bertanya kenapa tempat ini selalu bersih?"
"Y-ya," Sylva menelan ludah sambil beringsut mundur, "aku juga pernah bertanya tentang hal lain dan kupikir aku bisa mendapat jawabannya secara langsung."
Kyra hanya melebarkan senyumnya sebagai respon, "Apa aku boleh mendekat? Aku membawa obat untuk alergimu."
Tangis Sylva mereda seketika, seolah lelaki itu membawa obat untuk tangisnya juga. Perlahan dia menelan ludah dan memilih mengangguk, "O-okey ...."
Lelaki itu kembali melebarkan senyumnya dan duduk di tepian tilam, dekat dengan kaki Sylva.
"Alergimu cukup parah, berapa lama kau membiarkannya begini?" Kyra memangku tas belanjaan yang dia bawa.