“Hello, Silver Moon! It’s beautiful name,” sapa Diamond, begitu nickname pria Australia itu di awal perkenalan kami.
“Hai, Diamond,” balasku lewat ketikan di sebuah messanger di komputerku.
“Jadi, kau berasal dari Indonesia? Siapa nama aslimu?”
Sejenak aku ragu untuk membalas. Amankah bila aku memberitahu nama asliku? Setelah mempertimbangkan banyak kemungkinan, aku pun membalas, “Erly. Erlyana Halim.”
“Hai, Erly, namaku Michael. Michael Mrkic, tapi kauu bisa panggil aku ‘Mike’.”
* * *
Dalam hidupku, tidak pernah ada niat untuk menjalin hubungan online jarak jauh dengan seorang pria. Sekali-kalinya, itu terjadi saat aku kelas tiga SMP. Itu pun karena aku sedang mempraktikkan kemampuanku berbahasa Inggris. Itu pun karena aku mengikuti keinginan Papa, agar aku lancar berbahasa Inggris. Itu pun karena pria bule itu yang mengajakku bicara duluan. Itu pun karena aku tak menyangka kalau pria Australia itu benar-benar mengirimiku bermacam-macam hadiah. Itu pun di luar dugaan, kalau akhirnya aku jatuh cinta padanya, setelah tiga tahun kami saling mengenal.
Tidak masuk akal? Memangnya ada orang yang bisa memilih kapan dan di mana ia jatuh cinta? Kalau ada, dengan senang hati aku mau jadi salah satunya. Awalnya, aku tidak mengindahkan perasaanku sendiri, sampai kemudian dia menghilang begitu saja, tepat di saat aku membutuhkannya.
Perlu waktu lama untuk pulih dari luka akibat cinta monyet. Setelah itu, aku tak ingin lagi terlibat dalam roman yang berhubungan dengan masa lalu: pria bule, atau pun hubungan jarak jauh. Selain karena keadaan yang tidak memungkinkan aku untuk mencari pacar lagi. Tapi hari ini, setelah enam tahun berlalu, masa lalu menghadirkan pria itu kembali. Pria itu, yang pernah menjadi bagian dalam hidupku - cinta pertamaku - kini sedang duduk tepat di sampingku.
Oh, ini mungkin hanya kebetulan. Seseorang bisa berdelusi saat kurang tidur, atau tertekan. Pasti ada ratusan nama yang sama di muka bumi ini. Untuk meyakinkan, sekali lagi kubaca nama itu.
Michael Mrkic - Financial Accountant. Dan di dalam kolom email, tercantum tulisan kecil “Sydney, Australia”. Kakiku terasa sangat lemas. Sesuatu meronta di dalam dadaku, berusaha melesak keluar.
Benarkah ada lebih dari satu Michael Mrkic di Sydney? Aku menghela napas dalam-dalam, dan mengembuskannya lewat sela-sela gigi. Logikaku, yang masih tersisa, angkat suara. Memangnya kenapa kalau pria itu adalah Michael? Belum tentu dia mengenaliku. Pria itu telah menghilang selama enam tahun sebelum kami sempat bertemu langsung. Selama itu pasti banyak perubahan terjadi pada fisik manusia. Akan lebih baik bila aku menganggap pria itu adalah Michael Mrkic lain yang kedua atau ketiga, atau mungkin keseratus. Takkan kubiarkan masa lalu menyeretku kembali. Saat ini, ada tugas yang jauh lebih penting ketimbang hal-hal cengeng seperti itu.
Kugoreskan bolpoin di atas kertas absensi, menuliskan beberapa data yang diperlukan, dan meletakkannya ke atas meja Ibu Dewi. Sambil berusaha menenangkan jantungku, aku menatap layar presentasi, meski pikiran dan jiwaku tidak ada di sana.
Sekuat tenaga, aku menahan diri untuk tidak melihat wajah pria itu. Akan tetapi, semakin aku berusaha, godaan itu semakin besar. Embusan napas dan suara gerak-geriknya terdengar semakin jelas. Kukaitkan jari-jari kedua tanganku erat-erat, sampai Ibu Dewi menyudahi rapat itu.
"Mbak Erly, silakan menunggu, saya akan segera kembali," kata Sari sambil mengikuti Ibu Dewi keluar ruangan. Aku mengangguk dan tersenyum kepada gadis Bali bertubuh mungil itu.
Selagi satu per satu anggota rapat keluar ruangan, aku berkutat dengan buku agenda. Mencatat, mencorat-coret, membuka layar ponsel, apa pun itu selain melihat ke sekeliling. Hanya dalam dua menit, keadaan menjadi hening, sampai-sampai aku dapat mendengar embusan napasku sendiri.
"Hai, Erly! Senang bertemu denganmu di sini."
Aku terlonjak. Kukira aku telah sendirian di ruangan ini, ternyata aku salah. Dan bukan embusan napasku yang kudengar, tetapi miliknya. Jantungku bergemuruh kencang melihat pria bule di sampingku sedang menatap dan tersenyum kepadaku. Ah, dia bukan Michael, jadi bersikaplah profesional.
"Hai, Mr. Mrkic, senang bertemu denganmu juga," balasku sambil melirik nametag-nya. Tanpa berusaha mengenali wajahnya, aku pura-pura sibuk membereskan buku agenda dan modul rapat.
"Aku tidak menduga kita akan bertemu di sini," kata Michael melanjutkan pembicaraan. Dia masih duduk sambil memperhatikan gerak-gerikku.
Selama tiga detik, gerakan tanganku terhenti. Benarkah dia adalah Michael-ku? Atau dia hanya orang asing yang sedang iseng menggodaku? Aku dan Michael terpisah oleh dimensi waktu dan benua. Tidak mungkin dunia menjadi sesempit ini. Tanpa berminat memperpanjang pembicaraan, aku tersenyum sekilas dan memasukkan semua berkas ke dalam tas.
"Erly, bisakah kita bicara sebentar?" Michael ikut berdiri pada saat aku berdiri. Dia mencoba mencegahku pergi.
Erly? Sebebas itukah dia memanggilku? Bukannya memanggil Nona, Miss, atau nama lengkap, tapi ... Erly? Entah dia adalah Michael yang asli atau palsu, aku tidak mau terlibat jauh dalam hubungan lain selain pekerjaan.
"Maaf, Anda pasti salah orang," kataku ketus. Saat aku berbalik, lenganku tercengkeram erat. Aku menoleh. Pria itu menahan lenganku. Sepintas kutatap wajahnya yang kurus dan pucat. Dia tidak sama dengan apa yang kuingat. Namun, aku masih mengenali bentuk hidung dan tahi lalat di pelipisnya. Memori lama kembali hadir di ingatanku.
"Kau tahu siapa aku," bisiknya.
Jadi, benar dia adalah Michael-ku? Dia mengenaliku. Dan aku pura-pura tidak mengenalinya. Dan dia tahu, aku sedang berpura-pura tidak mengenalinya. Amarah menyeruak di dalam darahku. Bukannya pura-pura tidak kenal, dia malah sok akrab denganku, gadis yang pernah dicampakkannya.
"Kau mau apa?" Nada suaraku naik satu oktaf. Lalu kugigit bibir bawahku setelah menyadarinya. Kutatap jari-jari tangannya yang menempel di kulit lenganku. Perlahan, Michael melepaskan cengkeramannya.
"Beri aku kesempatan," katanya pelan. Aku menatap sinis kedua matanya sebelum berpaling dan melangkah keluar ruang rapat. Sekuat tenaga, aku menyeret kakiku. Kupaksakan tubuhku berdiri tegak. Dulu, dia bahkan tidak pernah memberiku kesempatan untuk tahu alasannya meninggalkanku.
"Wait, Erly!" Michael menyusulku keluar ruangan. Sambil mengabaikannya, aku tetap berjalan menyusuri koridor tanpa tujuan. “Silver Moon!”
Langkahku terhenti begitu saja. Nama itu …. Tidak mungkin ada orang lain yang tahu nama itu selain Michael.
"Maafkan aku," bisiknya di balik punggungku. Suaranya terdengar lirih dan menyedihkan. "Please."
Sebuah beban berat menindih dadaku. Rasa benci semakin mendera pikiran dan hatiku. Benci ketika mendengar seorang pria memohon kepada wanita. Benci karena aku gagal mengabaikannya. Benci karena pertemuan itu terjadi di saat yang tidak tepat. Dadaku terasa sakit ketika sesuatu berusaha meronta keluar dari dalam.
Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, Sari muncul dari ujung koridor.
Michael berdehem. "Miss Halim," panggilnya keras, berusaha keluar dari situasi yang penuh emosi ini. Aku membalikkan tubuh dan bersikap sewajar mungkin. Tapi bagaimana juga, tidak mungkin aku terlihat wajar. Michael pasti menyadarinya. "Ini pasti milikmu," kata Michael sambil menyodorkan sebuah bolpoin silver yang bukan milikku. Pandangan kami berserobok. Tanpa berminat mengalihkan tatapan, kuamati wajah dan tubuhnya untuk memastikan.