“Datanglah ke Sydney, aku akan membawamu melihat pantai terindah di New South Wales, Manly Beach,” ketik Michael lewat aplikasi chatting.
“Ah, di Indonesia juga ada banyak pantai indah. Jadi, kau yang seharusnya datang ke Indonesia,” balasku menantangnya. “Kami punya Pasir Putih, Kuta, Senggigi, atau Pantai Pink, kamu pernah dengar tentang itu semua?”
“Wow, kedengarannya menyenangkan. Bisa aku pergi bersamamu suatu hari? Aku mau kita melihat sunset bersama.”
“Kenapa tidak? Sunset di sana sangat indah.”
“Berjanjilah, Erly, my Silver Moon, suatu saat kita akan melihat sunset bersama-sama.”
“Janji!”
* * *
Matahari sudah berada di ufuk barat dan sebentar lagi akan meninggalkan cakrawala. Pemandangan sunset di pantai biasanya hanya bisa kubayangkan dalam angan-angan. Tapi sore ini, aku bisa menikmatinya di tengah kebebasan temporerku.
Tiba-tiba, seolah diingatkan, aku mengambil ponsel. Helaan napas lega terembus saat kuingat GPS-nya telah kumatikan sejak aku tiba di Bali. Aku harus selalu berhati-hati. Kecerobohan sedikit saja akan mendatangkan petaka bagiku, terutama keluargaku. Bukan tidak mungkin, ada orang yang mengikuti saat ini. Aku menoleh ke belakang, tapi tidak ada yang satu pun dari orang-orang itu yang mencurigakan. Semuanya terlihat seperti turis sungguhan.
Diam-diam kulirik Michael yang ada di sampingku. Apakah dia punya niat jahat? Kelihatannya dia pria baik-baik. Kuraba botol gas air mata di kantung tasku. Sesaat, tatapan kami bertemu. Jantungku kembali berdebar cepat.
“Ngg … bagaimana kau bisa sampai ada di Bali?” tanyaku gugup.
Michael menyugar rambutnya. "Seorang teman kuliahku yang menawarkan pekerjaan ini,” jelas Michael.
“Jauh-jauh dari Sydney ke Bali?”
Dia tertawa. “Kenapa tidak? Aku bosan tinggal di Sydney. Di sini aku seperti sedang liburan.”
Aku sebenarnya hendak menanyakan tentang gaji yang didapatnya, yang mungkin tidak akan sebesar perusahaan-perusahaan di Sydney. Namun aku sadar kalau itu sangat tidak sopan.
“Sudah berapa lama tinggal di Bali? Bahasa Indonesiamu bagus.”
“Oh, thanks. Baru dua tahun. Tapi aku punya banyak teman dari Indonesia sewaktu kuliah dulu,” jelasnya sambil menggosok tengkuk. Dia terlihat canggung.
“Teratai Group pasti memperlakukanmu istimewa karena kau ekspatriat.”
“Tidak juga. Aku juga tinggal di mes karyawan, sama seperti karyawan lainnya.”
Aneh, kami tidak seperti orang yang baru bertemu. Bahasa tubuhnya membuatku merasa aman. Belum apa-apa aku sudah nyaman berada di dekatnya.
“Ngomong-ngomong, seberapa besar perusahaan Teratai Group sampai-sampai membuat acara ulang tahun secara besar-besaran?” tanyaku menyelidik.
Michael bersiul. "Lima besar di Asia. Kau tahu, Teratai Group mengalami kenaikan profit yang cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir ini.”
Kami berbelok ke sebuah gang kecil tidak jauh dari Hotel Lotus. Aku berjalan mengikuti Michael dan mempercayai ke mana dia akan membawaku.
"Kau sendiri, apa yang membawamu kemari?" lanjut Michael.
"Aku bekerja sama dengan Ibu Riana," jelasku. Lagi-lagi, Michael bersiul kagum. "Oya, menurutmu apakah tidak terlalu besar biaya yang mereka keluarkan untuk proyek ini?"
Michael tertawa renyah. "Kau tidak tahu? Ibu Riana itu calon legislatif. Event ini merupakan kesempatan emas untuknya. Dia, kan, perlu banyak suara dan dukungan. Dan tahun depan, Mr. Sofyan akan bekerja sama dengan developer Jepang. Menurut isu, proyek itu akan menjadi proyek terbesar yang pernah dia buat.” Michael nyengir seusai bercerita.