Kupikir semuanya kembali terkuak dari hari ini.
Hari paling kelam yang tak akan penah kubayangkan terjadi padaku. Walau semula hanya diawali dari sebuah telefon pendek, ia bagai menjelma menjadi topan dasyat yang langsung menerpa tubuhku yang rapuh. Berkali-kali aku mencoba menolak dengan apa yang telah kudengar. Aku bahkan mematikan ponselku agar tak ada lagi yang bisa menghubungiku. Tapi suara dari televisi di ruang tengah, seperti menyeruak begitu saja di telingaku, seakan ikut mengabarkan...
... sebuah kecelakaan terjadi pagi ini. Sebuah truk bermuatan berat telah kehilangan kendali hingga menabrak sebuah mobil yang sedang melaju berlawanan arah. Pengendara mobil ditengarai menderita luka berat, dan kini masih dalam perawatan intensif di rumah sakit kota. Saya Malika Herza dan juru kamera Mikail, melaporkan dari tempat kejadian…
Saat itu juga, tubuhku terasa bergetar. Kakiku gamang. Apalagi saat sekilas kulihat di layar televisi sebuah mobil yang hancur tak berbentuk. Mobil yang jelas kukenali sebagai mobil milik Barra.
Kali ini aku tak lagi bisa mengelak. Seperti setengah sadar, aku sudah bangkit dan mengambil kunci mobil. Tubuhku kemudian seperti melayang di atas roda-roda mobil menuju rumah sakit yang tadi sempat kudengat samar-samar.
Sepanjang perjalanan aku terus berharap kalau semua ini hanya sebuah mimpi buruk. Tapi harapan itu segera saja sirna, saat aku benar-benar melihat Barra terbaring di ruangan itu. Matanya terpejam dan sebagian tubuhnya telah dibalut oleh perban putih yang sudah dipenuhi warna merah darah.
Tangisku pecah. Air mata yang sejak tadi menggenang dan selalu kuhapus cepat dengan punggung tanganku, kini tak lagi bisa tertahan. Seorang dokter yang tengah bertugas, mendekatiku. Ia membimbingku untuk duduk di kursi terdekat, seakan tahu bila sebentar lagi kakiku tak lagi mampu menopang tubuhku. Kulihat, ia nampak ingin mengucapkan sesuatu. Namun aku memilih tak mau mendengarkan apa-apa darinya. Aku seperti sudah bisa menebak dengan apa yang akan dikatakannya. Ekspresi wajahnya sudah melukiskan itu!
Aku memilih mendekati Barra yang masih terbaring. Kugenggam tangannya erat-erat, dan berharap ia dapat merasakan kehadiranku di dekatnya. Dan mungkin, karena tetes air mataku yang menelisip di pori-pori melalui punggung tangannya itulah, ia kemudian seperti benar-benar tersadar. Tanpa menggerakkan tubuhnya sama sekali, dapat kulihat kedua matanya terbuka perlahan, lalu mengejap-ngejap mengarah padaku.
“Sayang,” suaraku tercekat.
Ia tak menyahut. Dan aku memang tak berharap ia membalas ucapanku. Melihat kondisinya saat ini, aku tahu kalau ini memanglah keadaan yang sangat parah. Jadi melihat dua bola matanya yang bergerak-gerak ke arahku, itu sudah cukup bagiku.
Aku kembali mencium punggung tangannya. Ingin aku berucap bila semuanya akan baik-baik saja. Tapi bibirku terlalu kelu untuk mengucapkan kata-kata itu. Yang bisa kulakukan hanyalah diam dan menangis
Lalu kulihat bibir Barra bergerak-gerak. Jelas sekali, ia seperti ingin mengucapkan sesuatu padaku.
“Sayang...” aku mendekatkan wajahku padanya.
Semula tak ada apa-apa yang terucap. Namun bibirnya tetap terlihat bergerak-gerak. Kata-kata seperti sudah berada di ujung lidahnya.