Simfoni Kesedihan

Yudhi Herwibowo
Chapter #2

Qurie Qurindra

Sejak dulu aku menyukai namaku. Kupikir sangat berbeda dari nama teman-teman lainnya. Terlebih bila diinisialkan dengan QQ, sepertinya jadi begitu manis. Tak heran bila sejak dulu, aku kerap menulisi barang-barang milikku dengan inisial seperti itu. Buku-buku, tempat makan, bahkan boneka-bonekaku.

Kata ibu, dulu dialah yang memberi nama itu, bukan ayah. Aku memang terlahir nyaris tanpa mengenal siapa ayahku. Karena sejak umur 4 tahun, ibu meninggalkan ayah, dan memutuskan untuk merawatku seorang diri.

Walau ibu tak pernah berkomentar apa-apa tentang ayah, aku yakin kalau ayah pastilah bukan laki-laki yang baik. Namun entah mengapa, setiap aku menanyakan itu secara langsung, ibu tak pernah memberi jawaban yang jelas. Kelak aku mengetahuinya dari para tetangga, kalau ayahku memang pemabuk yang selalu membuat onar. Itulah yang membuatku, tak lagi perlu mengingat tentangnya.

Bersama ibu, aku tinggal di sebuah rumah kecil berdinding kayu, dengan halaman yang nyaris tak ada. Ibu bekerja di perusahaan kecil pembuat pakaian. Karena jumlah produksi yang terus menurun, pemiliknya kemudian membagi pegawai-pegawainya dalam sistem shift. Ibu hanya bekerja di hari Senin - Rabu - Jumat saja. Walau aku tahu itu membuat gaji ibu terpotong separuhnya, aku cukup senang, karena dengan begitu ibu jadi memiliki bayak waktu untukku.

Setiap malam sebelum aku tidur, ibu selalu menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur. Dulu aku suka sekali cerita tentang gadis kecil bersyal merah yang mengakali srigala jahat. Ini yang membuatku meminta ibu membelikan sebuah syal berwarna merah. Aku juga suka cerita tentang pangeran yang disihir menjadi kodok, dan baru bisa kembali menjadi pangeran setelah seorang putri cantik menciumnya. Ini yang membuatku kerap mengamati kodok-kodok di luar rumah lebih lama, berpikir apakah mereka adalah seorang pangeran?

Namun yang paling kusuka dari semua kegiatanku bersama ibu adalah saat akhir pekan. Saat itu ibu akan membawaku ke pinggir hutan untuk mendatangi sebuah gereja tua yang tak lagi terpakai. Di situ, kami akan berjalan dengan hati-hati di atas lantai kayu yang mulai lapuk untuk mendekati sebuah piano usang yang masih mengeluarkan nada-nada yang merdu. Ibu ternyata bisa memainkan piano. Ia akan membawakan beberapa lagu untukku. Awalnya tentu kami akan bernyanyi bersama-sama dengan riang. Aku biasanya yang menyanyi dengan lantang dan ibu akan menirukan suara-suara binatang dengan gembira. Lama-lama ibu mulai mengajariku cara bermain piano. Aku akan duduk di depannya. Jari-jariku akan berada di bawah jari-jarinya dan tak henti mengikuti jari-jarinya bergerak, untuk menekan satu demi satu tuts-tuts piano itu.

Kupikir, itu adalah momen terindahku bersama ibu.

***

Lihat selengkapnya