Simfoni Kesedihan

Yudhi Herwibowo
Chapter #3

Sefadia Krani (2)

Debussy masih mengalun pelan dari ujung ruangan. Setelah Claire De Lune from Classics for the Heart, Valse Romantique menyambungnya. Bagaimana pun, aku tetap yakin, bila didengar dengan sepenuh perasaan, komposisi-komposisi ini memang mampu menentramkan hati. Namun entah kenapa, semakin lama, ia tak sekadar menentramkan, namun mampu membawaku pada keheningan malam yang tak berbatas. Lalu bersama kesendirianku, ia akan mengantarku pada ruang-ruang kosong yang tak pernah terjamah, atau pada lorong-lorong panjang yang hanya memiliki kesenyapan.

Keadaan ini masih tak jauh berbeda dari hari-hari kemarin. Setidaknya sejak kematian Barra, aku seperti enggan untuk melakukan apa-apa. Aku bahkan tak mengubah apa-apa di rumah, termasuk di perpustakaan ini. Semuanya masih sama seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku bahkan masih duduk dalam posisi yang sama seperti kemarin pula. Hanya satu yang sedikit berubah: di atas meja kerja Barra, keletakkan foto lama yang beberapa hari lalu kutemukan. Foto diriku, Barra dan Qurie dengan latar sebuah piano berwarna putih.

Foto yang seketika saja mampu membalik lembara-lembaran kisah lalu!

Aku masih ingat semuanya dengan jelas. Kapan foto ini diambil dan siapa pula yang mengambilnya. Aku bahkan masih mengingat kira-kira jam berapa kejadiannya, dan apa yang kami lakukan sebelum dan setelahnya. Bagaimana pun, momen itu sepertinya hanya sekali tejadi. Jadi mana mungkin aku melupakannya.

Tanpa sadar aku menghela napas panjang. Kali ini helaan itu, bercampur dengan rasa lelah yang ada pada tubuhku. Ya, sedari pagi, aku memang mulai membongkar barang-barang Barra di lemari besar yang ada di ujung ruangan. Ia memang menyimpan segalanya di situ, terutama semua yang berkaitan dengan musik.

Entahlah, aku seperti merasa harus mencari sesuatu. Aku tak tahu apa itu. Mungkin semacam petunjuk, atau apa pun itu. Aku yakin. Setidaknya yang pasti, pencarian ini dapat memberiku alasan untuk menata lemari ini menjadi lebih rapi. Toh, tak ada apa pun yang kubuang. Bahkan selembar kertas kosong sekali pun.

Laci-laci di meja besar ini pun kurapikan. Bahkan buku-buku yang tergeletak di atas meja pun kuperiksa dengan seksama, tanpa aku mengembalikannya di rak-rak buku, walau aku tahu di mana letaknya.

Memang, dalam pencarian setengah hati ini, aku menemukan barang-barang yang selama ini –mungkin– belum pernah kulihat sebelumnya. Atau mungkin aku sebenarnya pernah melihatnya, namun tak cukup kuat mengingatnya. Seperti sebuah kotak penyimpanan yang ada di bawah lemari. Kotak ini hanya seukuran kotak bekal makan, namun ternyata terkunci dengan kunci digital yang tak bisa kubuka, walau sudah mencoba memasukkan beberapa kemungkinan kata pembukanya.

Aku kemudian meninggalkannya, saat menemukan hal lain yang lebih menarik. Foto-foto lama Barra kala ia remaja. Di situ juga ada pula beberapa foto ketika ia sedang tampil dengan bandnya. Yang ini, mungkin aku pernah melihatnya dulu. Hanya saja ketika masih di dalam memori kameranya. Aku sama sekali tak tahu, bila ia telah menyetaknya beberapa.

Di tumpukan kertas-kertas lamanya, aku juga menemukan beberapa partitur dalam lembar-lembar yang sudah nampak usang dan tertekuk di ujung-ujungnya. Satu partitur begitu menarik perhatianku, karena dipenuhi coretan-coretan. Terlebih saat aku mencoba membacanya.

Apakah ini partitur yang diciptakan Barra? Kenapa aku merasa tak yakin. Apa karena hampir di seluruh bagian, aku tak mengenali coretan-coretannya? Tapi setahuku walau ia kerap mencipta lagu, tapi tak pernah kutahu ia juga menciptakan lagu-lagu klasik. Apalagi sampai sepanjang ini. Apalagi aku mengenal ciri khas nada-nada yang biasa dipakainya, dan ini jelas sekali bukan nada-nada pilihannya.

Aku benar-benar tak mengerti, dan merasa gagal untuk menebaknya. Perasaan lama yang sebenarnya selalu mengendap dalam diriku yang paling dalam, seperti muncul begitu saja. Aku memang tak mengenalnya dengan baik. Delapan tahun hidup bersama, sepertinya bukan membentuk ikatan yang mampu menguatkan kami. Pun menyatukan kami.

Perlahan aku bangkit dan mendekat ke arah piano. Kubuka kap piano sambil meletakkan partitur yang kutemukan tadi. Lalu, setelah menarik napas panjang, mulai kumainkan nada-nada di partitur itu. Sedikit telah kubayangkan alunan nadanya di kepalaku. Namun saat benar-benar denting-dentingnya terdengar, semuanya terasa berbeda. Sesaat aku merasakan nada-nada yang terlalu rendah. Ketukannya pun terasa begitu lambat. Namun itu hanya beberapa saat saja. Masuk ke bait-bait nada selanjutnya, baru kurasakan nuansa yang lebih dalam. Tapi entah kenapa, nada-nada terasa begitu murung. Jelas sekali, bila partitur ini memang ingin menampilkan sebuah kesedihan.

Aku terus memainkannya. Sampai di bait keenam dan ketujuh, aku merasa tersendat memainkannya. Sepertinya ada sesuatu yang kurang di situ. Entah satu atau dua nada. Atau aku saja yang tak dapat membacanya dengan bak, karena di bagian itulah mulai terlihat banyak coretan-coretan.

Setelah selesai, aku mengulangi lagi partitur itu dari awal. Kali ini dengan ingatan nada yang lebih kuat di kepala, sehingga gerakan tanganku pun terasa lebih ringan dari sebelumnya. Dan saat itulah –saat aku mulai tenggelam dalam alunan kesedihan nada-nadanya– irama-irama itu seperti menyengat diriku.

Seketika, jantungku seakan terhenti. Juga gerakan tanganku. Jari-jariku terasa begitu kaku, tak lagi bisa bergerak. Membuat nada terakhir yang kutekan seperti bergema lebih panjang. Tapi di saat seperti itulah aku kembali teringat dengan nada-nada itu.

Benar-benar teringat.

***

Lihat selengkapnya